Thursday, 13 September 2012

Harapan di Ujung Kapuas


Semangat si penyadap karet

Usianya masih cukup muda 33 tahun, tetapi gurat pekerja keras tampak jelas di wajah bapak beranak 2 ini. Namanya singkat sekali, cukup Dino ujarnya, tanpa embel-embel. Pertemuan awal kami di Hotel Radja Samarinda, dalam acara Workshop penulisan yang dilaksanakan oleh Kawal Borneo Community Foundation (KBCF). Saya melihat dia masih sangat malu dalam mengungkapkan sesuatu, sampai akhirnya saya mendapat kesempatan untuk berbincang hangat.
Dari Desa Tambak Bajai asalnya, dia menjelaskan bahwa desanya terletak di Kecamatan Dadahub, Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah (Kalteng). Lokasinya cukup terisolir karena berada diujung kabupaten. Untuk sampai kedesanya, di butuhkan waktu setengah hari dari kabupaten, dengan menempuh jalan perusahan perkebunan. Dilanjutkan dengan kapal bermesin tempel. Secara geografis desa Tambak Bajai berada di aliran anak sungai kapuas, membuat warga desa sangat bergantung dengan modal transportasi sungai, sering mereka sebut Ces.
Desanya terkesan jauh dari cerita indah, desa yang sering kita bayangkan. Berbagai sarana dan prasarana hampir tidak di temukan. Kantor desa saja tidak layak untuk sebuah tempat pelayanan, karena papan sudah tua dan usang. Minimnya sarana yang ada dikampung, baik air bersih dan listrik. Menambah kesan belum ada, sentuhan pembangunan.
Sayapun bertanya “Pak, tidak menyesal tinggal di Tambak Bajai ?. Diapun tersenyum dan menjawab “Tidak pak.” Dalam pikiran saya, apakah bisa saya tinggal di daerah yang begitu jauh dan terisolir, minim sarana dan infrastruktur. Serta jauh dari kesan layak sebuah desa.
Mendengar cerita di atas, sayapun tergelitik untuk bertanya lagi “Kalau masalah kesehatan dan pendidikan, bagaimana pak ?. Dia lalu sedikit memasang buka masam “Kalau sekolah hanya SD saja yang ada di Desa Tambak Bajai, jika sudah naik SMP harus pergi ke Kecamatan. Sementara kalau kesehatan di desa ada Puskesmas Pembantu, tetapi perawatnya hanya ada 1 minggu dalam sebulan.” Apalagi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Jenis premium diharga Rp.7.500/liter, sehingga untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan, harus ditebus dengan harga yang mahal.
Apalagi saat ini anak pak Dino sudah menginjak kelas 4 Sekolah Dasar (SD), 2 tahun lagi harus hijrah bersekolah di Kecamatan Dadahub. Butuh biaya yang besar hanya untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masalah ini yang membuat pak Dino terlihat lesu ketika bertutur.
Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dia mulai bercerita bahwa mata pencariannya adalah penyadap karet. Setiap pagi bersama istri dan saudaranya, pergi menyadap pohon karet di lahan sendiri. Tidak banyak katanya hanya 400 pohon,  hasil sadapan karet hanya 9-10 kg/hari. Harga karet didesa dihargai Rp.6500 – Rp.7.000/kg oleh pengepul. sehingga dalam satu hari penghasilannya sebesar Rp.65.000-Rp.70.000. Itupun harus dibagi dengan saudaranya yang membantu menyadap karet. Pekerjaan ini dilakoni hanya 5 hari dalam satu minggu.
Saya lalu menanyakan kembali, “Berarti enak ya jadi penyadap karet, karena penghasilannya tetap.” Dia lalu tersenyum dan menjawab “Itu jika tidak musim hujan, karena kalau musim hujan biasanya kampung banjir. Banjirnyapun tidak tanggung-tanggung bisa tiga bulan tidak surut.” 
Dia juga bertutur bahwa selain menyadap karet, mencari rotan dan ikan disekitar desa dilakoni. Agar dapur tetap mengepul. Semangat untuk bertahan dalam keterbatasan, membuat saya kagum dengan sosok pak Dino. Raut wajahnyapun tidak kudapati mengutuk nasib.

Jalan perubahan di Tambak Bajai

Sejak akhir tahun 2011, secercah harapan muncul dibalik semua keterbatasan yang ada. Program PNPM Peduli mulai menyentuh Desa Tambak Bajai. Diawali dengan survey untuk menentukan indikator kemiskinan yang ada di Tambak Bajai. Dalam survey ini didapati hampir semua Kepala Keluarga, berada dibawah garis merah kemiskinan. Jadi jauh dari kesan Kalimantan tempat tinggal orang berduit.
Tidak hanya mengumpulkan data, PNPM Peduli juga mulai mengurai benang kemiskinan, yang menggurita. Diskusi dengan masyarakat, mencoba menggalang kesadaran untuk maju. Tidak mudah memang menyakinkan, tetapi sifat ramah warga Tambak Bajai. Salah satu kunci diterimanya Program PNPM Peduli.
Satu benang sudah terurai, masih banyak benang yang entah dimana ujungnya masih menjadi pekerjaan bersama.
Pak Dino bercerita bahwa dia mulai terlibat dalam sebuah kelompok tani masyarakat, yang diberi nama Hapakat. Sebutan ini memiliki arti bersepakat untuk bersatu. Mulanya kelompok ini adalah sebuah perkumpulan yang diinisiasi oleh Fasilitator PNPM Peduli.
Menurut Pak Dino beberapa rapat yang dilakukan pada akhir 2011, membuat keputusan untuk membentuk kelompok yang bergerak diusaha Budidaya Ikan Gurame. Alasannya pakan enceng gondong  berlimpah untuk gurame. serta mempunyai harga yang cukup tinggi, dikampung saja harga mencapai Rp.30.000/kg.
Awalnya di desa, dia mengaku bahwa belum ada kelompok usaha masyarakat yang dibentuk untuk mendorong usaha. Setelah masuk PNPM Peduli yang difasitatori oleh saudara Heri, akhirnya masyarakat mulai sadar dalam berkelompok.
Diapun bercerita dalam kelompok sudah disepakati aturan main, berupa mekanisme pemberian pakan ikan. Setiap hari satu orang bertugas untuk memberi pakan, jadi dalam satu bulan pak Dino hanya mendapat giliran satu kali saja. Ini disebabkan jumlah anggota Kelompok Hapakat berjumlah tiga puluh orang.
Setiap pagi dan petang menjelang, Pak dino dengan sabar menyebar pakan ke dua puluh keramba. Yang berukuran 1,5 m x 2 m. Wajah Pak Dino berseri-seri ketika berujar, ikan gurame selalu lahap jika diberikan pakan. Sehingga menjadi aktivitas yang menyenangkan. Biaya pakan didapatkan dari iuran anggota sebesar Rp. 10.000 – Rp. 15.000/bulan.
Saat ini Ikan gurame sudah menginjak usia sembilan bulan sejak Januari 2012. Usia ideal untuk memanen ikan jika, sudah mencapai satu setengah tahun, ujar Pak Dino. Dia mengungkapkan bahwa saat ini harap-harap cemas, selalu menghantui anggota kelompok. Apakah nanti saat panen ikan yang dihasilkan sesuai dengan harapan. Penantian ini memang membuat semua gelisah, apakah budidaya ikan gurame jawaban dari segala keterbatan ekonomi di desa.
Setiap kejadian selalu ada hikmah yang bisa dipetik, kalimat yang saya sangat yakini. Begitu juga yang dipahami oleh Pak Dino. Dia berucap “Walaupun belum mendapatkan hasil dari keramba, tetapi banyak hikmah dari kegiatan budidaya ikan.” Tanpa berpikir panjang, saya lalu menimpali pertanyaan “Maksud bapak, bukannya jika gagal akan sangat kecewa.”
Pak dino lalu tersenyum lagi, sebelum menjawab pertanyaanku. Dari mulutnya keluar ucapan yang begitu tak terduga buat saya. Menurut Pak Dino selama ada kegiatan budidaya gurame, banyak sekali perubahan di desa. Perubahan yang menurutnya dahulu, hanya mimpi disiang bolong.
Setitik harapan itu, bagai seteguk air di padang pasir. Berbagai kegiatan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat, membuat semangat untuk keluar dari rongga kemiskinan semakin kuat. Bak gayung bersambut, instansi pemerintah kecamatan setempatpun memberikan komitmen untuk mendorong pembangunan desa.
Dengan wajah yang bersemangat, Pak Dino mengatakan bahwa “Saat ini sudah mulai dikerjakan perbaikan dan pelebaran jalan. Jembatanpun mulai dibangun.”
Pak Dino berharap, perubahan di desa semakin berkembang. Sehingga memberikan harapan bagi, generasi yang datang. Terlihat jelas di bola mata Pak Dino yang tulus, sambil berucap “Biarlah kesengsaraan ini kami yang merasakan, tetapi anak cucu kami dapat hidup layak sebagai manusia.” NIA

Rasa itupun tiba

Kulihat senyum kecilnya, membuat energi dalam diriku tertumpah dan meluap. Gerakannya yang masih kaku, kadang membuat aku tertawa geli. Kelucuan sering kali menghiasi hari-hari kami, dengan tingkah jenakanya. Siapakah dia ?. Dia adalah anak pertama kami. Saat ini usianya sudah 9 bulan, tepat hari ini. Setiap melihatnya, saya selalu teringat ketika kami menunggunya.
Hampir 1 tahun kami menunggu kedatangannya,  memang sesuatu yang menegangkan. Setiap awal bulan, selalu saja istriku berujar “Sudah isi ngak ya.” Sehingga alat pengecekan kehamilan selalu siap-siap digunakan, apabila sudah “telat.”
 Setiap bulan pasca pernikahan selalu saja begitu, sehingga menjadi rutinitas rutin diawal bulan.  Istriku selalu saja sedih ketika, yang ditunggu tak kunjung datang. Selalu ku kuatkan “Sayang, apapun takdir yang Allah berikan kepada kita, aku siap menerima. Jika kita diberikan anak, ya aku sangat bersyukur. Kalaupun tidak, ya saya bertabah.”  Kata-kata itu selalu saja kukatakan ketika yang ditunggu tak kunjung menyapa, sehingga sedikit menghapus kegalauannya.
Mengisi hari-hari menegangkan, kami selalu jalan-jalan mengelilingi Kota Bontang, maupun bermotor ria ke luar kota. Tujuannya mengisi hari-hari kami. Saya berharap bergembira setiap saat, sedikit melupakan keresahan istriku dalam penantiannya.
Bulan berganti bulan, yang ditunggupun tak kunjung “nongol.” Tepat satu tahun pernikahan kami, tepatnya 20 februari 2011. Dihari pernikahan itu, kami merayakannya dengan makan malam ditempat yang selalu membawa kenangan. Kulihat hari itu, dia sangat gembira. Senyumnya yang lebar tak sedikitpun ada beban disana.
“Oh, istriku. Bersabarlah” Bisikku dalam hati. Semoga Allah menjawab doa-doamu, yang kau panjatkan disetiap penghujung sholatmu.
Menjelang awal bulan maret, kulihat istriku cemas sekali. Dengan tergopoh-gopoh, diteleponnya aku dari tempat kerjanya. “Sayang, saya telat nih” ujarnya. Saya lalu bertanya “Sudah, berapa hari ?”. diapun langsung menyambar “baru dua hari.” Sayapun hanya tersenyum dan mengatakan, ya sudah kalo baru telatnya 5 hari baru kita periksa ya.
Diapun langsung mengatakan untuk menyiapkan tespak, agar dapat mengecek siapa tau hamil katanya. Sayapun langsung mengiyakannya. Pemeriksaan kehamilan dengan menggunakan tespak haruslah dilakukan pada pagi hari. Tes dilakukan pada air seni yang pertama keluar.
Malam begitu sangat panjang terasa. kulihat dia, tidak tidur dengan nyenyak, selalu saja menanyakan sudah pukul berapa.
Detik yangdilalui bagaikan bergerak sangat lambat, sehingga malam itu terasa sangat membuat gusar untuk dilalui. Lalu Kulihat dia lalu bergegas ke kamar mandi, geraknya yang begitu gesit. Dia hanya tersenyum simpul, ketika kulihat tingkahnya. Yang sedikit aneh pagi ini.
Rasa penasaranku semakin memuncak, bagaimana hasil testnya. Apakah akan ada garis yang menunjukkan tanda kehamilan. Selalu saja hatiku berkata harus siap, aku menerima jika tidak ada tanda itu.
Tak berselang lama, istriku berdiri didepan pintu kamar. Kulihat wajahnya lesu dan berkata “Sayang, aku hamil”. Terkejut aku mendengarnya, tanpa berkata-kata aku bagai tak percaya. Akhirnya penantian kami terkabul. Doa-doa yang kami panjatkan selama ini telah terjawab. Tanggung jawab untuk membesarkan dan mendidik sudah dititipkan. Lengkaplah semua rizky yang kami dapat.
Istriku lalu berujar lagi, tapi garis yang kedua belum jelas.  Sayapun membesarkan istri “Mungkin, baru 3 hari telatnya, sehingga belum jelas”. Dia lalu meminta sepulang kerja nanti, mengantar ke dokter spesialis kandungan. Untuk dapat meyakinkan dan berkonsultasi.
Sepulang kerja, langsung kutancap motor menuju klinik praktek dokter spesialis kandungan. Ingat sekali nama dokter yang berparas tampan itu, dokter Khairul sapaannya. Kamipun menunjukkan hasil test yang kami lalukan dirumah, dan meminta sarannya. Dengan nada lembut dan sedikit tersenyum dia menjelaskan bahwa kami terlalu bersemangat dan tak sabar. Menurut dia 3 hari belum dapat menentukan kehamilan. Test pack yang dipakai belum akurat seratus persen, hanya sembilan puluh sembilan persen. Bisa jadi satu persen yang terlihat, menurut dia bisa jadi karena kondisi emosi dan hormon.
Jadi sarannya, kami bersabar menunggu. Apabila satu minggu masih belum datang “bulanan”nya, dapat datang menemuinya lagi.
Dengan sedikit kecewa, kamipun pulang kerumah. Selalu saja kukuatkan istriku, bahwa memiliki anak bukan seperti membeli barang di toko. Bisa tinggal tunjuk yang dimau, tetapi memiliki anak adalah keputusan yang kuasa. Sehingga tidak ada yang tahu itu. Tugas kita hanya menyakinkan Allah bahwa kita pantas untuk dititipkan amanah, dengan jalan berdoa dan berikhtiar.
Seminggu telah berlalu, wajah cemas selalu saja nampak kulihat diwajah cantiknya. Saya hanya mengusap rambut ketika kudapati cemas itu.
Kami memutuskan lagi untuk membeli tespak, untuk meyakinkan kembali. Mungkinkah yang ditunggu sudah tiba. Wajah kalut bercampur mengaduk dibatin kami berdua, sampai pada pagi hari yang ditunggu.
Garis yang dinanti-nanti akhirnya muncul dengan sangat jelas. Kami bak mendapat lotre ketika melihat itu. Segera saja mengucap syukur kepada tuhan, atas karunia yang kami terima. Luapan kegembiraan melutup-letup serasa tak percaya, akan kejadian ini. Istri saya meneteskan air mata sambil tersenyum.
Kulihat  dia begitu bahagia, sayapun hanyut dalam luapan emosinya. Mengalir diantara nadi-nadiku yang beranak pada kedua ujung mata ini. Mengalirlah tetesan yang tak terasa jatuh. Air mata bagai tak dapat membendung pompa jantung yang semakin cepat.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Selalu itu yang terucap. Kata-kata itu cukuplah menggambarkan kegembiraan di hari itu.
Satu tahun saja, kami menunggu kedatangan buah hati. Selalu membuat gusar. Bagaimana pasangan suami istri yang sudah bertahun-tahun, yang menanti buah hati tak kunjung tiba. Ya Allah semoga meraka Engkau mudahkan dalam mendapatkan keturunan. Agar dapat merasakan perasaan yang kami rasakan ini. Kuatkanlah mereka dengan sabar dan sholat, agar tabah dalam penantian yang berujung kegembiraan.
Kegembiraan ketika mendengar, indahnya amanah yang kau berikan. Indahnya melihat makhluk yang kau titipkan ketika tertawa, tersenyum dan menangis.
Oh, semoga kau selalu sehat anakku, hingga kau tiba bertemu dengan Ummi dan Abimu di dunia. Tunggulah sebentar anakku, sabarlah didalam rahim karena kesabaran selalu berbuah manis.

Foto : Istriku saat hamil 7 bulan