Wednesday 21 November 2012

Perjalanan ke “Negeri Ungu”


Sudah lama saya, ingin sekali pergi ke Tanah Grogot. Kabupaten yang juga berada di Kalimantan timur. Kalimantan jarak antar kota, tidak seperti di pulau jawa. Jarak yang cukup jauh, kadang kelelahan selama perjalanan. Walaupun sudah 28 tahun tinggal di Kaltim, rasanya mengunjungi kabupaten dan kota baru hitungan jari.

Teman saya berkelakar “lebih baik ke jepang, dari pada ke Tanah Grogot. Nyampe di jepang lebih duluan”. Hahahahaha.. saya pikir bener juga, kami mulai perjalanan dari Bontang ke Samarinda dengan menggunakan Kijang innova. Dilanjutkan ke Balikpapan dan dilanjutkan menggunakan kapal penyeberangan fery ke Penajam. Tiba di Penajam harus menempuh perjalanan selama 3 jam lagi ke Tanah Grogot.

Pengalaman kemaren ke Tanah Grogot, yang sedikit membuat “emosi” ketika berada di Penyeberangan Kapal Fery. Kami tiba di Balikpapan sekitar pukul 09.30 pagi. Melihat antrian mobil dan truk mengular panjang. Terpaksa kami harus “nongkrong” dulu di bawah pohon atau di warung dari pada didalam mobil. Suhu kalimantan yang rata-rata 38-40 derajat celcius, bisa buat kepala mendidih ketika berhadapan kondisi ini.

Hampir 5 jam, baru akhirnya kami bisa sampai di atas fery. Sudah mati gaya menunggul. Truk besar mendominasi di pelabuhan, karena jalur yang kami lalui adalah jalur menuju Banjarmasih. Sementara jalan satu-satunya melalui jalur ini, jika memutar sangat jauh dan jalan rusak sehingga lebih baik mengantri.
  
Kapal fery membutuhkan waktu 2 jam untuk menyebrangkan kami ke Kabupaten Penajam. Pelabuhan berada didalam teluk balikpapan, sementara  penajam berada di muara sehingga membutuh waktu yang cukup lama. Jika menggunakan speed boat dari Balikpapan kota, hanya butuh waktu 25 menit saja.
 Setelah sampai di Pelabuhan penajam dilanjutkan langsung menuju Tanah Grogot. Dikanan dan kiri jalan yang dilalui hanya perkebunan kelapa sawit dan akar belukar. Kegagahan hutan borneo yang dahulu dibanggakan sudah hampir tak ada. Ketika hutan sudah abis, tambang dalam tanah lagi yang dikeruk. 


 Tiba di Tanah Grogot, malam hari. Lampu jalan yang menyala dan menjulang tinggi terkesan Kabupaten ini sangat indah. Taman yang dihiasi dengan lampu warna warni dan juga jembatan lengkung yang menunjukkan keanggunannya. Kelelahan yang kami alami selama perjalanan, mungkin karena dehidrasi akibat panasnya menunggu di pelabuhan. Saya langsung tidur malam itu dan terkapar diranjang, sementara si El juga langsung bobo dengan nyenyaknya.

Keesokan harinya, pagi saya dan teman-teman ada pekerjaan sedikit. Kami mengunjungi calon-calon RT yang akan menjadi bank sampah di Kabupaten Paser. Yang menbuat aneh, hampir semua kantor pemerintahan berwarna ungu, bahkan lapangan upacara di Kantor Kabupaten di cat berwarna ungu. Sayapun bertanya kepada salah satu warga “Kenapa warnanya ungu semua” kata salah satu warga “ungu itu warna gabungan 2 partai koalisi pendukung Bupati sekarang.” Saya hanya melongo keheranan. Dahulu menurut penuturan masyarakat setempat semua berwarna hijau. Saat ganti penguasa warna hijaupun berganti menjadi ungu.


Agak heran memang kenapa harus warna ungu. Bukanlah warna ungu terkesan girli banget. Hehehehe.. Apakah bupatinya punya sisi kewanitaan yang dalem. Hehe.. Bahkan pembatas jalanpun yang biasa berwarna hitam putih diubah menjadi putih ungu. 

Otonomi daerah memang membawa perubahan yang sangat” aneh.” Para “raja-raja kecil” daerah seolah “kreatif” dalam memimpin atau memang mereka menunjukkan bahwa mereka adalah raja yang patut untuk dituruti.

Kalau saya boleh meminjam kata-kata Alay, "Jadi, gw harus ngomong Wow gitu"... hehehehehe...


Wednesday 7 November 2012

Manisnya bertanam bakau


Jalan yang becek, tak menyurutkan langkah  fasilitator pendamping PNPM Peduli, menuju ke Teluk Kadere. Kampung kecil yang hanya dihuni tidak lebih dari 40 Kepala Keluarga (KK) di Kota Bontang. Kampung ini sangat sederhana sekali, rumah rata-rata terbuat dari papan dan beratapkan seng. Penduduk rata-rata bermata pencarian nelayan dan petani. Mata pencarian berupa mencari teripang dan tude, bertani hanya sebagian kecil karena beberapa waktu lalu tanaman singkong diserang hama babi. Padahal Singkong merupakan salah satu makanan pokok pengganti beras, ketika tak sanggup membeli beras.
Hari ini saya menemui ketua kelompok Attirara. Baharia, ibu muda yang sudah memiliki empat orang anak ini adalah sosok yang periang dan jenaka. Kami bermaksud membeli bibit bakau untuk Rehabilitasi Mangrove, yang dilakukan PT.Pupuk Kaltim.  Perasaan gembira dapat saya baca dari wajahnya. Menurutnya “Saya sering bertanya, kapan polo  ada yang membeli.” Polo adalah sebutan bahasa daerah bakau atau mangrove dalam bahasa mamuju. Dia bercerita bahwa kadang perasaan was-was ketika melihat bibit bakau, sudah tumbuh besar tetapi belum ada yang membeli.
Sayapun beranjak melihat Pondok pembibitan bakau yang mereka buat. Ukuran bangunannya hanya 3 m x 8 m. Ada sekitar 4.000 bibit dari jenis Rhizhopora sp yang siap tanam. Bibit yang ditanam sejak delapan bulan, yang lalu ini sudah mempunyai 6 helai daun. Bibit yang berjajar rapi dan warna hijau, membuat mata menjadi teduh ketika melihat pembibitan ini.
Balla pun merasakan hal yang sama. Janda 55 tahun ini gembira tak terbendung. Dia langsung mengatakan “ayo, kita menanam polo lagi.” Dia berkata  dahulu tak percaya kalau polo ada yang membeli, apalagi jumlahnya sangat banyak.
Bibit bakau dihargai seribu rupiah perbibit. Sehingga dari hasil pembibitan bakau kelompok mengantongi uang empat juta rupiah. Angka yang dianggap besar bagi kelompok attirara.
Setali tiga uang dengan Kelompok Bunga Laut yang berada di Salantuko. Kampung ini berada dekat dengan Teluk Kadere, jaraknya hanya 1 km. Penduduknya rata-rata bermata pencarian sebagai nelayan, baik budidaya rumput laut maupun mencari teripang.
Bibit yang dibeli di sini sebanyak dua belas ribu bibit, angka yang sangat fantastis. Sumaria selaku ketua kelompok, mengatakan “Saya senang sekali, polo kami sudah terjual. Sekarang anggota semakin yakin dalam usaha ini.” Dia mengatakan anggota kelompok juga tidak sabar lagi melakukan pembibitan, karena sudah ada pesanan dari PT.Badak sebanyak seribu bibit. Walaupun demplot pembibitan bakau yang hanya berada di bawah pohon bakau, tak membuat kelompok ini berkecil hati. Dari hasil penjualan bakau, kelompok mengantongi dua belas juta rupiah.
Kedua kelompok ini sudah merasakan manisnya menanam bakau. Selain memberikan sedikit rupiah agar asap dapur mengepul. Kegiatan pembibitan bakau juga mengajarkan kepada masyarakat untuk dapat menjaga bakau disekitar mereka. Bakau yang terjaga, memberikan bibit untuk mereka tanam agar kegiatan usaha bibit bakau tetap berjalan. (NIA)

Merawat "Si Jenderal Kecil"



Si El usia 10 bulan
Hari ini tanggal 7 November 2012, tepat 11 bulan sudah Hasan Albiruni si “Jendral kecil” lahir. Rasanya begitu cepat waktu berlalu, hingga tak terasa si kecil sudah bisa bicara walaupun hanya “mam” dan “ma” serta “uuhh”. Kata yang begitu kami nantikan dikala berkumpul.
Saat ini kami memutuskan untuk hidup bertiga, ya bertiga. Sebelumnya kami bertiga menumpang dirumah orang tua. Saya dan istri memutuskan untuk mengontrak rumah, ukuran 4 m x 12 m. Cukup luas untuk ukuran rumah kontrakan, didalamnya terdapat dua kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Saat ini sudah hampir 2 bulan rasanya kami bertiga berpetualang untuk merasakan merawat si “Jenderal kecil.”
Rasanya campur aduk jadi satu, kayak es teler yang bisa membuat mabuk kepayang bila dimakan. Mengurus anak bukan perkara mudah, kami sudah merasakannya. Saya dan istri bekerja “full day”. Itulah yang membuat mengurus anak menjadi berbeda. Sehingga Rasanya tak pantas jika merawat anak harus dibebankan kepada “umminya” saja. Sayapun harus menjadi suami “siaga.”
Jaman sudah berubah, dan kitapun harus bisa menyesuaikan kondisi ini. Peran membangun rumah tangga adalah mimpi dua insan. Bukan menjadi keluarga yang sempurna, tetapi menjadi keluarga yang dapat menenangkan dan menentramkan hati kedua pasangan. Keluarga yang dibangun atas dasar cinta dan saling memahami. Kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan adalah bumbu yang harus dimaklumi. Itu yang kami coba saat ini, ketika si “jenderal kecil” hadir diantara kami.
Berjibaku dipagi hari.
Pagi hari, menjadi rutinitas yang paling “asyik” untuk kami berdua. Kebiasaan si “Jenderal Kecil,” bangun ketika kami juga bangun. Salah satu dari kami pasti harus menggendong atau mengajaknya bermain. Dan satunya lagi harus menyiapkan makanan, botol susu, baju serta popoknya. Untuk Makanan kami berupaya mengolah sendiri. Jam 6 pagi, biasanya kami sudah memasak bubur di Ricecooker. Dilanjut menyiangi sayur bayam, ati ayam dan labu. Setelah dipotong kecil-kecil lalu dimasak di panci kecil, diberi garam dan gula sedikit. Menunya kadang juga kami ganti yang lain seperti wortel, kentang, tempe dan ubi.
PDAM mengalir hanya 2 hari satu kali, mencuci botol susu adalah pekerjaan yang sangat saya tidak sukai ketika air PDAM tidak mengalir. Sabun yang digunakan untuk mencuci botol, biasanya berbusa banyak. Jadi harus dibilas dengan menggunakan air yang banyak pula.
Kami hanya mempunyai satu drum plastik, itupun biasa dipakai untuk mencuci dan mandi. Jadi sebisanya harus mengirit air. Setelah botol dan tempat makan dicuci, lanjut ke alat steril botol yang menggunakan sistem uap. Kalau ingat dulu, kami harus memasak botol hingga mendidih, cukup menyita waktu ketika harus menunggu. Lama alat ini bekerja kurang lebih 15 menit.
Merebus air wajib dilakukan dipagi hari, selain untuk sarapan juga digunakan sebagai penghangat air mandi si kecil. Saya liat si kecil sangat asyik ketika mandi. Ia selalu bermain air dan bercanda dengan melempar gelak tawa jenaka.
Usia 11 bulan masa yang lagi aktifnya bergerak. Kami sampe “kewalahan” menghadapinya, tetapi selalu menyenangkan bersamanya. Yang paling sulit adalah memakaikan popok. Waduh dia selalu meliuk-liuk seperti ular. Dan jika memakai baju, gerakannya yang lincah selalu membuat kami kerepotan.
Setelah semuanya siap. Si kecil kami antar ke orang tua saya, untuk dititipkan. Jumlah saudara saya delapan orang, yang saat ini tinggal bersama orang tua sebanyak enam orang. Yang paling kecil sudah kelas 4 SD. Jadi si kecil betah disana, karena ramai dan banyak teman bermainnya. Kadang jika kami kelelahan sehabis pulang kerja, malam hari dijemput. Ditambah lagi saya masih kuliah jam tujuh malam, sehingga menjemput kadang jam sembilan malam. Kadang perasaan rindu selalu saja menghantui saat aktifitas harian tak kunjung selesai. Saya selalu berbisik dalam hati “Kasian anakku, sabar ya sayang.”
Tetap saja, :”petualangan hidup” ini selalu menyenangkan. Selalu kunikmati tantangan tiap detik yang dilalui. Setiap hari ini selalu saja si kecil berubah, tambah pintar dan tambah menggemaskan. Semoga engkau selalu sehat ya nak, kami mendoakanmu selalu. Aminn.

Sunday 4 November 2012

Kelahiran Sang "Jenderal Kecil"


Kegembiraan yang kami rasakan, hampir tak terbendung. Linangan syukur selalu saja terucap dalam setiap alunan doa. Air matapun menetes, tak terasa. Rasa tak percaya, takut, gembira bercampur. Membuat pelangi indah dihati kami.
Bulan berganti bulan, setiap bulan kmai lalui dengan pemeriksaan rutin. 3 dokter kandungan kami datangi untuk mencari yang cocok. Mencari dokter memang bukan perkara mudah, karena kadang selalu saja kami tak puas dengan penjelasan. Akhirnya kami menemukan satu dokter yang cocok, dan menurut teman-teman dokter tersebut sangat kaya akan pengalaman.

USG hampir tak pernah kami lewatkan, teringat bulan kehamilan kedua. Istri saya meminta untuk dilakukan USG, dokter yang memeriksa hanya tersenyum dan mengatakan “Ibu, terlalu cepat USGnya.” Saya belum dapat memberikan informasi, jika kandunganya masih berusia muda.
Anjuran itu, tak membuat istriku surut. Ia mengatakan “Ngak papa dok, Cuma pengen liat aja.” Rasa haru begitu sesak dalam dadaku, ketika kulihat layar berukuran 7 inci. Layar yang berwarna hitam dengan hanya titik-titik putih. Dokter menjelaskan bahwa jantungnya telah berdetak. Hampir tak percaya istriku, dia hanya memandang saya dengan tersenyum haru. Kulihat butiran air mata sempat membasahi kelopak matanya. .
Oohh Tuhan, inikah karunia yang begitu dahsyat kau titipkan. Dalam kandungan istriku, satu sejarah telah terlukis. Kami harus menuangkan tinta dengan beragam warna, sehingga membentuk gambar yang sempurna dan indah. Yang kaya akan warna serta bentuk, sehingga sejarah akan tercetak indah.
Rasa syukur saya, tak hanya sampai disitu. Alhamdulllah istriku tidak mengalami “ngidam”, atau bahasa kerennya Morning sick. Sehingga aktifitas bekerja tidak terganggu. Kulihat dengan bertambahnya, usia kandungannya, ia semakin sulit untuk berdiri maupun berjalan.
Setiap malam tiba, ia tak bisa tidur karena selalu kepanasan. Hanya kipas angin saja yang kami punya waktu itu. Tidurpun selalu susah mencari posisi yang enak. Perut yang semakin membesar membuat saya selalu iba melihatnya.
Pada masa kehamilan, istriku sangat rajin mengkonsumsi berbagai suplemen terutama kalsium, habattussauda dan sari kurma. Amalan rutin ini membuat ia sehat dalam beraktifitas, sehingga badannya selalu tampak segar.
Dibalik ibaku, tak kudapatkan sedikitpun ia mengeluh, mungkin kegembiraannya melebihi dari sengsara yang ia rasakan. Menjadi ibu adalah impiannya, untuk melengkapi kodrat sebagai wanita. Sungguh mulia memang. Perempuan dengan segala  keterbatasan, diberikan kekuatan yang melebihi gunung.
Jarak kantor istri saya bekerja cukup jauh, jika dihitung dapat ditempuh 30 menit dengan jarak 25 km, arah selatan Kota Bontang. Sebenarnya dapat ditempuh dengan cepat, jika melewati jalan perusahaan PT.Badak, tetapi karena bukan jalan umum. Akhirnya saya harus memutar lewat jalan ke utara dulu, baru menuju ke selatan yaitu Kelurahan Bontang Lestari.
Untungnya saat pulang, istri saya dapat menumpang pada teman kantor yang membawa mobil. Untuk dapat diturunkan di depan Supermarket yang cepat saya jangkau. Sungguh “petualangan” yang mengasikkan menikmati hari-hari menunggu.
Memasuki usia sembilan bulan, saya selalu deg-degan. Dalam hati saya selalu bertanya, apakah saya dapat melalui proses persalinan istri ?. ketakutan yang saya rasakan juga dialami oleh istri, dan ternyata lebih besar dari yang saya rasakan.
Dia selalu mengatakan “saya takut, apakah saya mampu menghadapi proses persalinan.” Walaupun juga sebenarnya takut saya menguatkan dengan mengatakan “Jika orang lain saja bisa melewatinya, InsyaAllah kitapun bisa.” Serta saya ingatkan juga untuk berdoa selalu.
Tepat 5 hari sebelum hari kelahiran prediksi dokter, saya harus tugas ke samarinda. Saya meminta ijin kepada istri, karena tugas kantor saya harus meninggalkan selama 2 hari. Kulihat ia was-was sekali ketika pesan itu saya sampaikan. Dengan wajah yang sedikit masam, iapun mengijinkan. Agar dia merasa aman, kuputuskan untuk mengantar kerumah orangtuanya.
Setelah saya disamarinda,tiba-tiba telepon berdering “sayang, saya ada bercak darah.” Saya panik ketika itu,apakah sudah akan melahirkan pikir saya. Lalu saya menghubungi teman yang berprofesi sebagai bidan untuk menanyakannya. Ia lalu menjawab, memang begitu jika akan melahirkan tunggu saja, ketika merasakan sakit yang rutin. Apalagi bertambah sakit, baru dibawa ke rumah sakit.
Dua hari kulewati tugas kantor dan cepat saja pulang Bontang. Kulihat istriku berwajah tegang, mungkin takut menghadapi persalinnya. 2 hari dirumah, belum juga ada tanda-tanda sakit yang rutin. Sedangkan was-was selalu saja terlintas, sehingga tidurpun tak nyenyak makan tak enak.
Tepat jam sembilan malam, tiba-tiba istriku mengeluh “aduh, sakit.” Pikir saya harus dibawa ke dokter. Tetapi ingat saran teman saya, jika sakitnya rutin dan bertambah baru dibawa. Jika masih masih biasa, kemungkinan disuruh pulang.
Kontraksi pada waktu itu, setiap setengah jam. Sampai pada pukul dua belas, istri saya mengatakan sakitnya sudah tak bisa ditahan. Saya memutuskan langsung menelepon mobil bersalin, untuk dapat segera datang. Segala sesuatu sudah saya siapkan, mulai dari baju, alat mandi, pakaian bayi dan buku kontrol kehamilan. Selang 15 menit mobil yang ditunggu tiba, langsung saja kami naik.
Setibanya dirumah sakit, dia lalu diperiksa. Dan dokter mengatakan “ini, baru bukaan dua bu.” Istri saya mengatakan bukaan dua aja sudah sakitnya seperti ini. Saya lalu berucap “kita pasti bisa melaluinya.”
Setiap dua jam sekali, pemeriksaan dilakukan tetapi, sampai pada pukul delapan pagi masih saja bukaannya dua. Sayapun berinisiatif mengajar istri untuk berjalan-jalan. Dengan memegang perut dia berjalan dengan tergopoh-gopoh dan kesakitan. Selalu saja saya semangati dengan bahwa semua orang bisa melewati kitapun bisa.
Tepat jam 12 siang pemeriksaan dilakukan lagi, saya langsung bertanya kepada bidan yang memeriksa.  Dia mengatakan sudah bukaan ketiga. Saya lihat istri saya selalu merintih kesakitan. Kasian melihatnya, tetapi semua memang harus dijalani. Tak henti-hentinya doa terucap untuk keselamatan dan keberhasilan persalinan ini.
Akhirnya tepat pukul tiga sore, dia sudah tak tahan dan ingin buang air besar katanya. Sebelum saya antar ke kamar kecil, saya bertanya dulu kepada bidan. Bidan berkata “itu bukan ingin buang air besar, mungkin sudah waktunya.” Dengan sigap bidan memeriksa, dilihat air sudah membasahi sarung yang dipakainya. Saya pikir mungkin ketubannya sudah pecah. Bidan mengatakan untuk dibawa langsung menuju ranjang bersalin.
Istri saya masih saja meminta mengantarnya ke kamar kecil. Saya lalu bilang sabar ya, dan mengatakan sakit yang sangat sakit. “uda, sakit. Ading sudah tidak tahan” ujarnya. “sabar sayang, harus kuat ya, nanti kita lihat dedenya.” Ucapku.
Kuseka keringat yang ada diwajahnya, kulihat dia sudah pucat putih karena tidak tidur semalaman. Saya takut dia tidak ada tenaga waktu proses bersalin. Selalu saja kuberi air putih untuk minum, sebagai asupan tenaga.
Tak lama datanglah lima bidan, untuk membantu persalinan. Dua bidan berada di kepala dan tiga bidan berada di bawah. Dilihatnya bukaan sudah lengkap ini, ibu bisa “ngeden,” Istri saya lalu mencoba untuk “ngeden,” tetapi sulit sekali. Bidan mengatakan “ibu, ngedennya jangan sampai dileher saja. Ayo ibu bayinya sudah keliahatan.”
Istri sayapun mencoba lagi, tetapi tidak berhasil. Keringat sebesar biji jagung keluar deras dipelipis dahinya. “oh tuhan, tolonglah hambamu yang lemah ini. Kuatkan istriku ya Allah SWT.” Tiba terdengan suara muntah dari dia, semua makanan keluar dari mulutnya. Suasana cemaspun menghantui, apakah bisa dia melewatinya. Segera saja kuberikan minuman “ayo sayang, minum dulu biar kuat.”
Sudah lebih 50 menitan terus dicoba tetapi selalu gagal, saya lihat tenaganya sudah mulai habis. Saya salut kepada bidan yang menolong, mereka selalu menyemangati istri saya. “Ayo ibu, ibu pasti bisa. Coba lagi ngeden, kasian bayinya bu.” Sayapun lihat isti mengeden dengan sisa tenaga. Ngedenya cukup lama, mungkin sekitar beberapa detik.
Tidak sia-sia, kepala sudah keluar. “Ayo sayang, coba lagi” pintaku. Diapun melanjutkan ngedennya akhirnya dengan suara yang memecah ruangan, anak kami pertama keluar. “Alhamdulillah, akhirnya dia menghirup udara dibumi.”
Kukecup kening istriku, kulihat dia tersenyum pucat. Kulihat bidan lalu mengambil dan memotong ari-arinya. Bayi dibersihkan dengan hanya mengelap dan menyelimutinya.
“Akhirnya kami punya keturunan yang melanjutkan doa-doa, kami terhadapmu ya Allah” ujarku dalam hati.
Sungguh pengalaman yang tak bisa saya lupakan, begitu besar perjuangan dia. Dia harus meregang nyawa untuk mengantarkan manusia ke bumi ini. Sungguh benar, bahwa surga itu dibawah telapak kaki ibu. Semoga kejadian ini membawa kita lebih taat kepada Allah SWT, bahwa kita tidak mampu berbuat apa-apa tanpa bantuanNYA.
Terima kasih istriku.... I Love U muahhh..... 

Menanam Mangrove, Menanam Pemahaman


Pagi itu, kuderu kencang sepeda motorku, menuju kampung tua di Kota Bontang. Guntung namanya, kampung yang dihuni oleh penduduk asli Bontang. Menurut riwayat, asal penduduk berasal dari Kutai yang berada di Tenggarong.
Jika tak tahu Kota Bontang. Kota ini terletak di Kalimantan Timur, jaraknya 220 Km dari Kota Balikpapan dan 110 Km dari Kota Samarinda. Kota yang perpenduduk kurang dari 200 ribu jiwa ini, adalah kota industri. Teman sering mengatakan bahwa Bontang, mirip seperti Kota Manchester di Inggris. Tidak punya banyak sumber daya tetapi bisa makmur. Perusahaan yang ada skala dunia seperti PT.Badak NGL, PT. Pupuk Kaltim dan banyak perusahaan kecil yang ada.
Guntung memang terlihat tua, ditandai dengan rumah-rumah model lawas. Juga gang yang sempit dan rumah berjajar berhimpit-himpit. Seperti perkampungan yang sudah sesak dengan manusianya. Kondisi ini bukan berarti Kampung Guntung sempit akan lahan. Lahan perkebunan yang cukup luas dapat kita temui di  ujung kampung.
Isi kebun adalah buah-buahan musiman. Buah yang saya sangat sukai dari kampung ini adalah Wangi. Namanya unik memang, buahnya seperti mangga. Dagingnya berwarna putih dan baunya juga sangat khas. Rasanya yang manis dan sangat eksotis. Buah musiman ini biasa dijual Rp.10.000 per 3 buah. Cara menjajakannyapun cukup unik, dengan cara ditusuk dengan menggunakan bambu yang sudah diraut. Sehingga seperti telur maulid nabi. Buah wangi sudah cukup langka, dahulu sangat mudah di temui di Bontang. Saat ini, jika ingin mencicipi, harus mencari di Kampung Guntung.
Tujuan saya ke guntung untuk menanam mangrove. Saya beserta dengan 40 orang masyarkat Guntung. Program menanam 20.000 bibit mangrove, aksi ini diprakarsai oleh PT. Pupuk Kaltim yang bekerjasama dengan Yayasan BIKAL tempat saya bekerja.
Lokasi penanaman di Pulau Kedindingan, jika diukur saya juga tidak tau pasti berapa jaraknya dari Guntung. jika menuju Kedindingan harus menggunakan kapal motor selama 1 – 1 ½ jam.
 Pagi itu tepat pukul 07.15 WITA saya tiba di Dermaga Guntung. Saya lihat, ibu-ibu dan bapak-bapak sudah berkumpul. Dengan memakai topi daur ulang sampah plastik dan berseragam hitam merah. Tidak lupa memakai sepatu yang disebut “Blabak.” Sepatu mirip sepatu sepak bola tetapi bahannya dari karet.  Dengan kaos kaki hitam yang panjangnya hampir sampai ke lutut. Saya melihat kelompok menanam ini persis sekali dengan kesebelasan sepak bola yang akan bertanding.
 Ketika semua sudah berkumpul, dan nasi bungkus untuk dimakan siang hari telah datang. Satu persatu orang naik ke atas perahu dan mengambil posisi yang nyaman. Perahu berjumlah 3 buah untuk mengangkut semua peserta penanaman.
 Gelak tawa selalu terdengar, mayoritas ibu-ibu rumah tangga yang ikut. Sehingga cerita-cerita lucu selalu saja dilontarkan, baik itu yang berbau humor maupun apapun yang dianggap lucu.
Saya menaiki perahu yang ukurannya kecil, hanya muat 5-6 orang.  Ibu-ibu tidak mau menaiki kapal ini, karena takut ombak yang besar. Kapal kecil ini berguna apabila air sedang surut, dan jangkauannya bisa jauh dibanding kapal ukuran besar.
Setelah semua naik keatas kapal, kapal motor dipacu menuju ke pulau kedindingan. Untuk menuju ke sana, dari guntung haruslah melewati sungai kecil dan tiba dimuara. Kami susuri sungai kecil, disamping kanan dan kiri, terlihat bekas tambak yang sudah tidak terpakai lagi entah karena bangkrut atau apapun saya tidak tahu jelas.
 Tiba-tiba saya melihat buaya, dengan ukuran 2,5 meter sedang berjemur. Saya kaget bukan kepalang. Cerita tentang buaya memang cukup populer di guntung, bahkan orang yang digigit buaya sering terjadi. Menurut penuturan warga guntung yang ikut dalam penanaman, hal tersebut sudah biasa bahkan buaya bisa sampai dibelakang rumah warga untuk berjemur.
Ketika saya terperangah, sayapun tak ingat untuk mendokumentasikan. Setelah lewat baru saya teringat, akhirnya kamera saya keluarkan dan memoto buaya. Kecewa karena hasilnya sangat buruk.
Kami juga melewati gugusan mangrove yang begitu sangat rimbun. Pohon yang besar-besar, menjulang tinggi membuat suasana sangat teduh ketika melewati sungai kecil ini. Jenis yang mendominasi adalah jenis Rhizhopora sp. Tumbuhan yang bisa mencapai puluhan meter tingginya ini, adalah jenis yang akan kami tanam juga di Pulau Kedindingan. Tak lupa burung Kuntul perak selalu mengawasi kami dari kejauhan, dengan warna putih yang mencolok direrimbunan mangrove. Suara burung dan binatang lainnya yang riuh seolah melepas kepergian kami ke Pulau Kedindingan.
Sekitar 10 menit, kami tiba di muara, terlihat jelas pabrik PT.Pupuk Kaltim. Saya lihat cerobong asap yang menjulang keangkasa, dengan kilang-kilang raksasa. Pipa-pipa dengan ukuran besar bersilang-silangan, terlihat seperti ulang yang melilit-lilit. Tak lupa konveyor yang menjulang tinggi, dibawahnya terlihat kapal ukuran raksasa bersandar di dermaga. Sungguh pabrik yang sangat besar. Pabrik ini memproduksi pupuk yang dipakai petani di Indonesia, hampir seluruh indonesia pemasarannya.
Kami beruntung pagi ini, ombak yang tenang selama perjalanan, sehingga saya sangat menikmati suasana laut. Yang membuat sedikit agak kesal, belat yang lokasi penempatannya tidak beraturan. Sehingga kapal yang saya tumpangi, harus selalu awas dan memutar untuk bisa sampai. untuk sampai ke Pulau Kedindingan kami harus membutuhkan waktu 2 jam. Biasanya dapat ditempuh 1 ½ jam.
Pulau kedindingan adalah pulau yang tidak berpenghuni. Luas sekitar 40 ha, ditumbuhi oleh mangrove. Hampir semua daratan yang ada, digenangi air. Surut terendahnya sampai pada mata kaki. Mungkin kondisi seperti ini tidak ada yang berminat untuk tinggal di pulau ini.
Pulau kedindingan ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi daerah, selain melindungi mangrove disini juga terdapat terumbu karang yang cukup baik. Yang menyukai diving dan snorkling dapat memuaskan diri disini. Terumbu karang yang cantik, kita dapat bentah didalam air untuk menikmatinya. Pulau ini berada persis di depan Pulau Beras Basah. Jadi jika mengunjungi Pulau Beras Basah, dapat juga langsung menuju ke pulau ini.
Pertama kalinya saya menginjakkan kaki di pulau ini. Saya lihat anakan mangrove begitu indah berjajar rapi. Menurut informasi anakan tersebut, hasil dari rehabilitasi Pemerintah Kota Bontang melalui Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian.
Peserta menanam langsung menuju lokasi penanaman, luasnya hanya 2 ha saja. Bibit mangrove sudah tersedia disekitar penanaman. Bibit didatangkan dari persemaian di Bontang Lestari. Ada dua kelompok yang memasok yaitu kelompok attirara dan Kelompok Bunga Laut. Jumlah bibit yang dipasok berjumlah 16.000 bibit. Sisanya sebanyak 4.000 bibit dipasok dari kelompok lain.
Suasana penanaman begitu riuh, suara candaan ibu-ibu membuat penanaman berlangsung mengasyikkan. Jumlah 40 orang dibuat grup yang terdiri dari 5 orang, jadi jumlah 8 grup. Tiap grup diberikan target menanam 2.500 bibit mangrove.
Segera saja, tiap grup ini, mengambil lahan yang telah disediakan. Tanpa pikir panjang semua beraksi. Tugal sebuah kayu yang cukup besar digunakan untuk menggali lubang ditancapkan, dengan sigap anggota grup yang lain mengisinya dengan bibit mangrove.
Jarak yang ditentukan 1 m x 1 m, sehingga lebih mudah menanamnya. Agar tanaman berjajar lurus, dapat menggunakan tali rapiah, yang dibentang. Satu target 500 pohon ada yang terpenuhi di beberapa grup, tetapi ada juga yang tidak terpenuhi. Bagi yang tidak terpenuhi, esok harus bekerja dengan ekstra lagi, karena harus mengejar target yang tertinggal.
Panasnya udara laut, tak meleburkan semangat menanam. Saya liat seolah sedang bertamasya. Sayapun asyik dengan mengambil foto kegiatan menanam. Ada yang berpose ketika bidikan kamera, menuju grup yang sedang menanam.
Menurut masyarakat yang mengikuti penanaman Bu Anna, cukup sulit memang menanam bakau. “Sudah menanam panas-panas, belum tentu akan tumbuh. Tapi jika menebang tidak cukup lima menit kayu yang besar bisa mati.”
Sungguh testimoni yang menggugah, ternyata masyarakat akan sadar jika sudah tau bahwa menanam itu sulit dan merawat lebih sulit. Semoga pengalaman menanam memberikan pemahaman bagi masyarakat Guntung untuk menjaga mangrove yang berada di kampung mereka. (NIA)