Thursday 19 September 2013

Satukan Ayunan Langkah






  #Bontang Manfrove Park

Belasan pasang bola mata tertuju ke sorotan infokus malam ini. Potret rencana Saleba Camp Site yang ada di Taman Nasional Kutai. Melihat gambar khayalan yang terlihat apik. Tampak hijau dimana-mana. Bangunan yang tak lebih dari 6 buah tertata rapi. Area parkiran yang cukup luas. Kanal berbentuk seperti danau membiru ditengah dominasi hijau pepohonan. Puluhan tenda rapi berjejer melengkung. Sungguh luar biasa tempat itu, jika seperti gambar ini. itulah mimpi untuk Bontang Mangrove Park. Itulah gambaran yang diberikan Tim Rakata sebagai Konsultan Wisata Berkelanjutan.

“Ayo sudah ini harus bisa dibuat, ihhhhhhh.” Ungkap Hermin. Semangat membuncah kala melihat sketsa Bontang Mangrove Park. Gambar yang bercerita tentang cita-cita membangun ekowisata. Ya, wisata berbasis lingkungan. Sudah banyak kita dengar bukan, wisata lingkungan yang dibalut dengan keasrian alam.  Serta tak mengindahkan aspek-aspek konservasi, masyarakat, ekonomi dan budaya.

Beberapa tahun ini mimpi dikepala dipelihara dan bicarakan. Serta dilakukan selangkah demi selangkah. Mimpi besar dengan tenaga terbatas, tentu harus dilakukan dengan langkah kecil. Ayunan yang mungkin tidak berarti, tetapi sudah melangkah tentu tak sia-sia.

Para pejuang lingkungan, yang tergabung dalam naungan Balai TN. Kutai tak hentinya mengobarkan semangat. Api yang membara bagi terciptanya wisata yang dibanggakan. Sebagai tempat belajar dan menggugah  kesadaran.

Mengingat Taman Nasional Kutai, yang terbesit di kepala tentu Orangutan. Padahal dengan luasan yang hampir 200.000 ha TN Kutai menyimpan banyak kekayaan yang tak terkira. “Harta” yang patut digali, diketahui, dicintai dan dijaga. Salah satunya, gugusan Mangrove yang membentang dari utara ke selatan. Menghubungkan Kota Bontang dan Sangatta.

Mangrove tentu bukan hanya dilihat sebagai kumpulan pohon ditepi pantai.  Tetapi ia adalah tempat dimana jutaan flora dan fauna saling ketergantungan. Satu dengan yang lainnya berhubung dalam ikatan ekologi, membentuk suatu kesatuan yang utuh. Bukan terpisah-pisah, tak ada gunanya Rhizhopora berdiri sendiri, tanpa Avicenia ataupun Sonneratia. Atau lainnya. Itulah yang merangkai keindahan dan misteri di gugusan mangrove.

Keelokan mangrove, itulah pemikat. Kelestarian dan ancaman sebagai bumbu kisah ditengah tekanan zaman. Berbagai langkah sudah dilakukan, sadar ataupun tidak. Para pihak seperti karyawan, polisi, pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum terlibat dalam satu langkah melestarikan mangrove di TN. Kutai, khususnya di Saleba.

Mengingat beberapa tahun lalu. Ketika bibit bakau yang ditanam di Saleba secara paksa dicabut. Tak tau siapa yang menariknya dari tanah. Menuduhpun tak ada bukti, kecurigaan menyelidik kemana-mana.  

Kisah yang menarik untuk saya, ketika mendengar bibit mangrove yang ditanam beberapa hari tidak ada yang dicabut. Ternyata kepolisian yang baru selesai melakukan aksi menanam dan dipagari dengan garis polisi. Lucu dan ajaib. Hanya dengan garis yang terbuat dari plastik berwarna kuning  bertuliskan dilarang melintas. Ternyata trik ampuh menangkal hilangnya bibit.

Sejak itu, promosi keberadaan mangrove di Saleba mulai dilakukan secara rutin. Mengundang lebih banyak lagi orang terlibat. Dalam beberapa bulan terakhir lokasi tersebut dijadikan tempat berkemah dan berkegiatan.

Kini mimpi itu sudah dilukiskan dilayar monitor. Cita-cita terbentuknya kawasan wisata mangore bagi semua masyarakat. Bukan dari segi komersialnya, tetapi menggugah kesadaran dan kecintaan tentunya. Melihat desainnya, yang begitu indah. Dengan area boardwalk, camping ground, parkir, kanal-kanal, aula, kedai/restoran, toilet serta segala pendukungnya dibutuhkan puluhan miliyar. Angka fantastis di uang lembaran. Nominal yang rasanya tak mungkin bisa dikumpulkan.
Harapannya Bontang Mangrove Park ini akan memberikan “rasa” yang berbeda di TN. Kutai. Juga sebagai tempat edukasi, rekreasi dan wisata di Kota Bontang. Tak lupa, masyarakat disekitar haruslah mendapat manfaat langsung, agar semua merasa memiliki. 

Tapi ingat, tak ada langkah seribu tanpa langkah pertama. Takkan tercapai cita-cita tanpa bermimpi. Ayunan satu orang tentu akan menjadi besar jika ada seribu orang mengayun langkah bersama.  Ayo berjalan atau berlari bersama bagi alam yang dititipkan anak cucu untuk kita jaga. 



Wednesday 18 September 2013

Ubah kompas

Sudah menginjak tiga bulan langkahku berubah. Setapak demi setapak kulalui menjadi guru. Ya menjadi pendidik. Pilihan menarik untuk terus berkarya di negeri ini. Status aktifis lingkungan harus kutanggalkan. Demi menjadi pendidik.

Menyenangkan, menggairahkan dan penuh tantangan. Bukan tantangan demo ataupun advokasi. Tetapi tantangan memahamkan “sesuatu” digenerasi muda.

Sudah hampir 10 tahun, saya bergelut di aktifis lingkungan. Mungkin hanya setetes yang bisa kuteguk, diantara samudra ilmu.  Tak banyak memang, tapi cukuplah bekal menjadi guru.

Sewaktu saya menulis di facebook, menyatakan tidak lagi menjadi aktifis. Beberapa teman sudah ada yang tau langkahku. Ada yang mengatakan “Selamat menjadi Guru Manusia.” Agak terkejut juga mendengar kata-kata itu.

Seorang guru bukanlah pilihan yang mudah. Guru manusia apalagi. Sebaiknya menjadi teladan atau contoh bagi manusia. Harus menjadi pendobrak untuk kekakuan dan pemecak bagi kebekuan. Dari apa, dari dogma mungkin.

Tiga bulan kulalui, kuikuti ritme dan iramanya. Lagunya sendu kadang juga cadas. Dan kadang berhenti diantara reff.

Melihat generasi muda saat ini. Bangga bercampur miris. Bangga masih ada yang semangat belajar dan miris melihat tidak ada semangat di anak muda.

Guru bukanlah seorang yang hanya memberikan pelajaran, tetapi haruslah memberikan motivasi, semangat dan daya juang.  Tak pelak lagi, ini yang harus diperjuangkan. Serta menularkan semangat bagi siswa agar tetap giat belajar.

Serta tak lupa, menggantungkan cita-cita dikepala setiap saat. Agar dunia berputar dan mendukung cita-cita yang diimpikan.

Bukankah semua berawal dari tujuan. Agar semangat bergelora untuk belajar. Jadi diawal saya mengajar. Cita-cita yang paling penting ditulis dan digambar. Tak lupa ditempel diantara dinding semangat.
Untuk muridku tercinta, ingatkah kata Soekarno “Gantungkanlah cita-cita setinggi langit. Jika engkau jatuh maka engkau akan tersangkut di bintang-bintang.”  Jadi bawa cita-citamu selalu setiap melangkah.




Monday 16 September 2013

Bernyanyi di Sangkima




Jika tiba akhir pekan apa yang biasa kita pikirkan ?. Sudah pasti mau jalan-jalan kemana, makan apa dan lainnya. Satu persatu rencana mulai difikirkan dan diraba kira-kira mau apa nanti di sabtu minggu.  Awal bulan September lalu saya dikontak teman, agar ikut kegiatan pertemuan Forum Komunikasi Kader Konservasi. Rencananya pertemuan ini akan dihadiri oleh alumni Kader Konservasi yang berada di wilayah Kalimantan Timur.

Kegiatan seperti ini buat saya selalu menarik. Selain acara diskusi dan kumpul-kumpul. Ajang ini juga menambah jaringan silaturahim diantara pegiat lingkungan.

Semangat yang menggebu-gebu tampak sekali jika sudah gabung dengan pejuang lingkungan. Mulai dari bercerita tentang kerusakan lingkungan sampai dengan aksi untuk menyelamatkan alam. Ya energi positif pastinya. Kekuatan yang dibangun karena kecintaan terhadap alam. Jadi saya rasa, kekuatan ini memang pemberian dari alam yang mereka perjuangkan.

Tapi rencana buyar seketika, biasalah orang indonesia. Alasannya selalu miss komunikasi. Kalau miss word atau miss universe sih saya suka. Nah ini miss komunikasi. Pada hari H, saya tak dihubungi jika berangkat. Saya sms, kata teman sudah dalam perjalanan ke Samarinda. Kesel juga awalnya, tapi tak apalah mungkin memang ngak jodoh buat ngumpul sama teman se Kaltim.

Rencana berputar haluan. Akhir pekan dialihkan dengan alasan rencana A gagal total. Jadilah B  mesti dijalankan. Pilhannya jatuh kepada berlibur di Sangkima. Beberapa hari lalu teman-teman berkumpul dan rapat akan mengadakan liburan di sana. Tugas terkait konsumsi dan peralatan yang dibawa dibagi dengan rata.

Biasanya sabtu sampai minggu kami dan kawan-kawan Denawa berkumpul. Sekedar nginap, ngobrol dan bernyanyi semalam.  Jangan kira kami hanya ngumpul bersama para lelaki, tetapi satu keluarga semua diboyong. Keluarga yang ngumpul bisa sampai 5 atau 6 keluarga, bisa dibayangkan ramainya. Dengan para ibu dan anak-anak. Mulai dari usia balita hingga SMP.

Biasanya menginap dirumah, sekarang berencana menginap di hutan. Konsumsi berupa lauk, sayur, nasi dan air dibagi. Caranya diundi siapa yang mendapat salah satu tulisan tersebut wajib membawa. Saya dan ading dapat secarik kertas yang bertuliskan Nasi.

Selain konsumsi, peralatan seperti sound system dan keyboard juga dibawa. Tak lengkap rasanya ngumpul tanpa bernyanyi.

Perjalanan dimulai pukul empat sore, selepas isya. Enam mobil melaju ke Sangkima. Jalannya cukup mulus. Sepertinya baru selesai di kerjakan. Tak sampai empat puluh menit kami telah tiba di gerbang Wisata Alam Sangkima.

Sangkima berada di jalan poros Bontang- Sangata. Jalan ini membelah pinggir Taman Nasional Kutai (TNK). Ada beberapa desa yang kita akan lalui dari Bontang. Mulai dari Desa Martadinata, Desa Teluk Pandang, Desa Kandolo dan Desa Sangkima Lama. Walaupun masuk dalam kawasan TNK, tetapi kanan dan kiri selama perjalanan, hati kita akan miris melihat kondisi hutan ini. Rumah berjajar sepanjang mata melihat, kebun sawit hingga POM bensin juga ada.

Memasuki Wisata Alam Sangkima, buat saya sebagai obat sakit hati. Setidaknya masih ada hutan yang indah didekat jalan poros.

Disini terdapat Pos, Aula, Guest House, Musholla dan Toilet. Menurut saya saat ini pengelolaannya sudah sangat baik. Selain terlihat bersih, papan informasi juga memberikan penjelasan tentang lokasi ini. Dan paling penting buat kami, jika menginap harus ada Toilet dan air. Rasanya semua keinginan kami sudah terjawab disini.

Ketika tiba dipintu gerbang dan menemui petugas pos. Kami dibuat panik, aula dan Guest House dipakai. Beberapa kawan tertunduk lesu. Ada bahkan mengusulkan agar liburan dipindah ke Pantai Teluk Lombok. Saya lalu mengatakan “kita disini saja. Toh nginap dimanapun kita tak ada masalah. Kan semuanya juga anak pramuka.”

Jika yang ikut semua berumur dewasa, tak masalah menginap diluar atau tenda. Personil “kurcaci” berupa balita ini yang membuat kawatir. Takutnya mereka akan sakit jika tidur dialam terbuka.

Tak berapa lama, seorang petugas datang dan menawari kami kamar di pos. Dia mempersilahkan jika kamar dipakai, karena penghuni kamar sedang tidak ada. Kasihan melihat anak-anak alasannya.
semua kembali bersemangat, satu persatu barang diturunkan dari mobil. Makanan yang dibawa ditata rapi diatas meja. Sound system dan keyboard dipadu padankan agar bisa bunyi. Anak-anak berlarian kesana sini.

Selepas Isya mulailah kami menikmati malam di Sangkima. Bernyanyi, tertawa, makan dan bergoyang agendanya. Riuh tawa dan canda itu yang selalu kami rindukan diakhir pekan. Tingkah anak-anak yang bermain bersama menjadi tontonan penghibur. Udara bersih dan malam pekat membuat liburan terasa sangat menyenangkan.

Liburan yang ramai dan memberikan energi positif tentu itu yang kita harapkan ditiap akhir pekan. Sebagai bahan bakar dihari senin untuk bekerja. ... Selamat berencana setiap akhir pekan...

cat :
foto liburan menyusul.. heheheh