Wednesday 2 November 2016

Kotak Rezeki


Beberapa minggu belakangan ini pagi-pagi buta sudah sibuk berdendang ria di dapur. Mulai dari memotong, menggoreng dan menanak menjadi hal yang menarik diawal hari. Ya.. beberapa pekan kebelakang kami sudah mulai membawa bekal makananan untuk dibawa ke kantor.

Semua orang tentu tau, bagaimana kondisi keuangan negara dan daerah saat ini, semua sektor  penggerak ekonomi seolah-olah terseok dalam merangkak, berdiripun rasanya sudah kepayahan. Tak terkecuali di Kota Bontang.

Kota Taman sebutan untuk Bontang, anggaran belanja sangat bergantung dari tetesan APBN. Hingga dalam segala lini pembangunan infrastuktur harus berharap dari pusat. Proyeksi APBD tahun 2016 diperkirakan kurang lebih 1,9 Triliun, tetapi pada kenyataannya hingga akhir semester kedua terkoreksi menjadi kurang lebih 1,2 Triliun. Perlambatan ekonomi dengan turunnya harga Migas Dunia membuat Dana Bagi Hasil untuk daerah penghasil dan pengolah menjadi turun drastis.

Tentu ini menjadi pukulan telak bagi lini pemerintah daerah, terlebih lagi kualitas hidup masyarakat Kota Bontang yang sudah cukup tinggi. Keberadaan dua perusahaan besar yaitu PT.Badak NGL dan PT.Pupuk Kalimantan Timur, membuat harga pasar baik sandang maupun pangan menjadi berbanding lurus dengan pendapatan warganya.

Tapi tak usah terlalu memikirkan perlambatan ekonomi, saya pikir teori ekonomi juga selalu berlaku. Ketika nilai semakin tinggi maka titik jenuhnya tentu ada, sehingga perlahan menjadi turun. Mungkin inilah yang terjadi sekarang, faktor penurunan harga komoditi dunia tentu dipengaruhi banyak faktor global, seperti perang, stabilitas politik hingga tetek bengek disudut dunia yang secara tidak lansung berimbas ke Indonesia.

Sudahlah, bicara ekonomi dunia membuat saya pusing yang tidak ditanggung BPJS.  Kembali kedapur saja. Setiap pagi saya dan istri meyiapkan 4 bekal. Saya, istri, el dan adiknya. Tidak mau pusing, biasanya segala macam persiapan sudah dilakukan di hari minggu. Mulai dari membeli kepasar, mencuci, menyiangi sampai pada menyimpan rapat dalam wadah kedap lalu dimasukkan kedalam kulkas.

Sebenarnya saya untuk urusan makan, tidak ribet. Apa aja dimakan, yang penting halal. Hehehe… kebosanan makan diluar juga salah satu alasan membawa bekal. Menu yang itu-itu saja, aromanya sudah hafal dan rasanya belum masuk mulut sudah terasa ditenggorokan. Seenak-enaknya makanan diluar tentu akan kalah dengan masakah rumah. Hehehehe…

Hubungan membawa bekal dan perlambatan ekonomi apa ya ?, tentu semua sudah bisa menebak. Kondisi keuangan daerah yang memprihatinkan, beberapa pengeluaran rumah tangga tentu harus menyesuaikan. Beberapa bulan yang lalu salah satu tunjangan telah dilakukan rasionalisasi dengan penerimaan daerah. Jadi sebagai imbasnya, kamipun melakukan juga rasionalisasi anggaran belanja keluarga. Hehehe… Jika sehari makan siang bisa menghabiskan Rp.50.000, maka terkoreksi menjadi Rp.25,000.

Teorinya seperti itu, tetapi pada kenyataannya tentu kadang hal lain bisa timbul, seperti harus ke bengkel serta harus ganti ini itu dan banyak alasan lain lagi. Tapi tak apalah itulah hidup.

Seperti kata motivator, dimana ada kesulitan tentu disitu ada peluang. Perlambatan ekonomi ini tentu harus disikapi dengan kreatif, tidak pasif apalagi mengeluh terus menerus. Sebagai contoh menyikapinya adalah membawa bekal dari rumah untuk makan siang, sebagai teman tak lupa setermos kecil kopi racikan.

Dan tak lupa selalu mensyukuri apapun yang kita terima. Mungkin membijaki kenyataan tentu diperlukan dalam keadaan sekarang. Menyikapi bahwa apapun bentuk rezeki tetap disyukuri.

Lihat saja, ketika membawa bekal betapa mesranya saya dan istri menyiapkan. Saling membagi peran serta ajang mengajarkan pada anak bahwa abi dan umminya sangat peduli. Memperlihatkan bahwa abi dan umminya membuat masakan dengan rasa sayang, hingga nilai-nilai ini bisa terserap kedalam tingkah dan tuturnya terhadap abi dan umminya lagi. Dan tak kalah pentingnya, tentu lebih bersih dan sehat.

Bukankah seorang nakhoda handal tidak dilahirkan pada laut yang tenang. Sama dengan mengelola keluarga, cinta akan teruji dengan banyaknya kesulitan dan kekurangan.

Sudahlah, mari menikmati bekal yang dibuat dengan ketulusan istri untuk suami dan anak. Terasa sangat nikmat walaupun hanya sebaris lauk ditemani putihnya nasi. Terima kasih untuk yang Maha Kasih atas nikmat iman dan sehat dihari ini, hingga bisa menikmati sekotak rezekimu.


Tuesday 25 October 2016

RUANG SEMPIT ITU ISTANAKU




Lama nian tangan ini tidak pernah menulis, agak gaguk menumpahkan coretan dalam bentuk kata. Canggung tiap kalimat serasa tidak padu padan. Tapi tak apalah, lebih baik memulai daripada tidak., toh tulisan ini tidak akan pernah masuk situs berita online atau media nasional. Hehehe…

Saya akan bercerita tentang kerajaan…. Ya Kerajaanku, ukurannya hanya sekitar 2 meter x 2 meter. Disinilah saya merasa menjadi manusia seutuhnya. Hampir tak ada yang membatasi saya dalam berkreasi. 3 tahun yang lalu rasanya tak mungkin saya duduk disini, bermimpipun sepertinya tak beran.
Istanaku begitu kecil, hanya diisi satu buah komputer build up merk HP lama dan satu laptop Asus yang punya prosesor Core i7 (hihiihi). Didepanku berjejer buku-buku literatiur hukum, disampingnya berkas menggunung. Sebagai pelengkah dibawah meja berbagai berkas laporan notaris Bontang dan Kutai Timur berjejer berantakan.

Didepannya terdapat lukisan tangan si El dan gambar superhero yang dia sukai. Serta berjejer mainan hadiah paket cuky di KFC. Dan sebuah menempel didinding biru foto hasil print out Pangeran dan Putri kecilku tersenyum ceria.

Istanaku, aku dapat “bermain” apa saja disini. Berselancar ria di dunia internet, membahas permasalahan hukum, mendengarkan musik hingga belanja online, menulis sepertinya sangat jarang kulakukan dibilik ini. Tetapi yang menarik adalah melihat dunia dengan berbeda dari sudut ini.

Dalam “kotak” kecil ini mungkin ada rasa bosan, orang kadang mengatakan kepenatan dibelakang meja selalu tampak menjemukan, pekerjaan yang itu-itu saja, tidak berkembang hingga menjadi tua diantara tumpukan berkas. Tak ada salahnya berpendapat demikian. Tetapi bagi saya, dimanapun kita berada akan menjadi asyik, walaupun itu didalam ruang gelap dan penat.

Disudut istanaku ini, saya biasa menyiapkan amunisi dalam persidangan perdata yang ditujukan kepada Pemerintah Kota Bontang. ini yang menyenangkan. Semenyenangkan melihat Instagram teman yang berjalan ria kemana-mana, dengan foto yang fantastic.

Tak Peduli dimanapun kau berada, entah itu dibelakang meja, diatas motor, disebelah kompor atau didalam kapal. Dunia ini akan indah ketika mencari sisi menyenangkannya. Mencari pojok dimana kita berarti dan menemukan hati diantara ritme waktu. Sudut dimana dia tampak berbeda, tampak menyenangkan dan tampak engkau menjadi hamba hakiki.

Anda mungkin pernah membaca ketika Buya Hamka seorang ulama terkenal dimasanya menyelesaikan Tafsir Al-Azharnya dibalik jeruji besi, atau Soekarno dapat memikirkan dasar negara ketika dalam keteraringan.

Selamat menikmati istanamu kawan, jadilah raja diruang sempit yang mungkin terhimpit. Pastikan dirimu merdeka dan bebas. Melayang dalam ruang harapan dan mimpi, berenang dilautan doa dan tak lupa menatap hidup selalu berarti dalam tiap hembusan nafas.


“Bukankah jantung terus berdetak, didalam bilik yang sempit dan gelap karena ia tau bahwa detakannya membuat tuannya hidup.” Cayoooo……………. 

Friday 6 May 2016

Tak ada Purnama di Bontang





Tak ada Bontang hari ini untukku, yang ada hanya asrama berlantai 3. Yang ada hanya lorong panjang, yang kulewati setiap pagi dan sore, disampingnya berbaris tanaman hijau. Atau aroma pagi yang semerbak, embunnya tercium hingga ke sukmaku. Tak ada Bontang hari ini.

Pagi itu terasa berbeda, tidak seperti hari-hari yang kulewati dalam rutinitas bekerja. Atau kumpulan waktu yang kuarungi dalam penatnya pekerjaan yang bertubi-tubi menghantam. Kerutinan yang kian rutin diantara setumpuk kekosongan yang ada. Yang pasti bukan cuma saya merasa, saya yakin dirimu juga.

Tak ada yang salah dengan apapun yang terjadi. Dia hanyalah pusaran waktu yang menemukanku dengan dirimu. Sumbunya terus saja berputar melewati masa. Momentum dimana takdirku dan takdirmu bertemu di asrama berlantai 3. Jika engkau tau ada 240 juta rakyat Indonesia, yang semua berbeda dan punya cerita hidup. Tetapi, mengapa kita bertemu di asrama 3 lantai. 


Hari ini saya akan bercerita tentang semangat mudamu yang ikut membakarku. Auranya begitu dahsyat hingga mengoyak dinding-dinding kebosanan dalam rutinitas pekerjaan kita. Semangat yang mendobraknya seolah membuka ruang baru dalam pikiran dan jiwaku.

Jika engkau tau, kekosongan yang tiap hari kita lalui membuat dimensi yang menumpulkan perasaan kita. Ketumpulan yang rasanya tidak ada lagi hikmah dalam bekerja. 

Tetapi bertemu denganmu, ada rasa, tawa dan cinta yang baru kutemukan. Rasa jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Perasaan yang deras memompa darahku hingga membakar semangatku untuk bekerja. Kutemukan sebait filosopi hidup di asrama 3 lantai. 

Biarlah aku mengenangmu di asrama 3 lantai. Tak usah kau usik kenangan ini dengan cemoohan yang rasanya tak ingin kudengar. Satu, dua atau tiga bulan lagi engkaupun akan lupa dengan apa yang terjadi di gedung itu. 

Semua orang dapat membeli jam untuk melihat waktu semahal apapun, tetapi kita tak dapat membeli kenangan semurah apapun. 

Biarlah kutitipkan sekecing hatiku untuk kau simpan didalam labirin kenanganmu. Tak apa kau lupa. Biarkan saja dia tersesat dan tak bisa keluar. Tak apa… toh itu saja yang kupinta. 

Jika kau bertemu diriku dilain waktu, tegur sapapun darimu tak pernah kuharap. Karena sekeping hatiku telah ada dalam kenanganmu. 

Bontang, Jumat 12.47.

Sunday 1 May 2016

“Purnama Kesederhaan”




Penat rasanya sore ini, berkumpul sudah letih yang memuncak diantara beban otak. Mata juga lelah entah harus diberikan apa agar dia terjaga. Secangkir kopi, ternyata juga tidak bisa menahan kepayahannya. 

Lengan baju putih kugulung sebatas lengan, dengan tarikan seadanya. Kerah baju mencekik dari pagi buta, kulonggarkan, dasinyapun turut ikut. Rambut sudah mulai sulit dikendalikan, semaunya jatuh kemanapun arah angina membawanya.

Ya… tak ada lagi tersisa tenaga. Tak ada lagi tersisa senyum diwajah yang berminyak dan kumal ini. Jam tangan hitamku menunjukkan tepat jam 6 sore. Sial, jam 06.45 harus bangkit lagi tuk mengisi lambug tengah yang sudah jengah menampung 4 pinggan siang ini.

Kuseret kakiku menuju kamar mandi yang berukuran 1 m x 2 m. kloset putihnya rapi berdiri disitu. Suara blower pekak selalu saja menyapaku setiap masuk. 

********
Tak ada yang istimewa hari ini, hampir tak ada. Yang ada mungkin hanya senyummu menghantuiku.  Tiitik itu aja.  

Sudah pasti kita tahu, siapa yang tak pernah dengar kata korupsi. Ya korupsi, kata yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang selalu terbelakang, ia bisa membuat bangsa ini selalu menjadi bahan olokan dan membuat negara ini hampir mati sekarat dan terbujur kaku tanpa tau akan hidup lagi apa tidak.

Kasar memang, tapi itulah yang terjadi. Para iblis berdasi mengincar apapun yang bisa dijual dari bangsa ini. Jangankan semen atau pasir. Kitab suci saja bisa dijual agar menampung keserahakan. Sudah tak ada lagi agama, dia hanya menjual ayat demi sesuap berlian haram.

Hari ini saya marah, semarah-marahnya. Jengkel sejengkel-jengkelnya. Karena mendengar itu. Ingin rasanya kutendang meja didepanku. Tetapi saya tak bisa berbuat banyak. Terlalu banyak sudah saya mencaci dan mengutuk para koruptor, tapi apa setiap pagi selalu saja ada yang tertangkap. Selalu saja ada yang melambai seolah tak punya dosa. Sialan…. dedemit berkepala manusia memang atau itulah iblis sesungguh-sungguhnya.

*******
Meja pagi ini berderet rapi, seperti biasa  saya, kamu dan kalian menunggu seseorang yang dianggap ahli. Jam dinding dibelakangku sudah menunjukkan pukul 07.15 pagi. Seorang ibu yang berusia 40an tiba didepan pintu. dengan wajah ceria dia mulai mengambil kuasa pada saya, kamu dan kalian. Wanita itu berjilbad dan berkacamata, tinggi sekitar 150an. Wajahnya yang selalu ceria siapapun berbiaca dengannya selalu dibuat takjub. Bahan kali ini korupsi, ya korupsi. Yang membuat saya, kamu dan kita keserupan atas marah yang tak bisa ditolerir.

Dia mengajarkan bagaimana menangkis korupsi, nilai yang ada dan harus mengedap diantara atma raga saya, kamu dan kalian katanya. Kata-kata Sederhana itu saja yang bisa saya tangkap hari ini dari mendengar kata korupsi. Kesederhanaan dalam apapun, apalagi hidup. Menurut saya susah untuk dijalani. Kesederhaan menerima takdir tetapi mampu, kesederhaan dalam ketawaduan tetapi pantas. Saya juga mengutuk diriku yang hanya bisa berkata tetapi sulit melakukan. 

Sederhana, siapa yang bisa hidup sederhana sementara godaan selalu membisik hampir setiap saat. Berdiri, duduk dan tidur godaan itu datang. Dunia yang sudah renta ini semakin hari semakin saja cantik, semakin saja seksi oleh keseksiannya. 

Kalian, saya dan kamu tahu nenek renta yang saya sebut bumi ini makin cantik. Lihat saja setiap hari selalu saja kita dibuat termohok. Kemauan dan naluri saya bagai banteng marah jika melihat dunia yang berwarna merah. Selalu saja ingin menyeruduk. 

Huff…. Dunia-dunia, selalu saja itu yang jadi bahan pembicaraan. Selalu menjadi tujuan yang fatamorgana. Yang selalu kita sebut sumber kemapanan dan sumber kebahagian.

Tetapi tidak untuk diriku, melihat kamu dan kalian tertawa sudah cukup. Ya cukup membuatku bahagia hari ini. Tidak ada energi semeletup hari ini, riak-riaknya membuat telaga menjadi riuh. Berharap menjadi gelombang.
*******

Malam itu kulalui lorong kelas yang gelap, hanya kursi berserakan dimana-mana yang terlihat. Bisa memang tetapi tidak untuk diriku, mereka seolah bercerita tentang hari yang kita, kamu dan saya lalui. Waktu yang rasanya ingin kuhentikan sejenak dan kubekukan agar tidak terlewat.

Kegelapan mengintaiku malam itu. Saya hendak mengambil beberapa lembar kertas ukuran besar dan dua buah spidol hitam. Untuk mencoret tugas yang mengganggu kepala, ketika harus bertemu bantal. Rasanya ingin kubuang gangguan itu, dan hanya mengisi kepalaku dengan kamu dan kalian.

Tak berapa lama berselang, saya harus bergegas ke bangunan tiga lantai.  Sesampai pada bangunan tiga lantai, semua suara telah lenyap. Senyap dengan kesunyian malam. Sinar bulan tampaknya tak muncul, dia hanya mengikuti takdirnya. ia seharusnya terbit ditengah malam hari. Karena waktu purnama telah berlalu.
*******

Saya akan bercerita tentang kamar, bangunan lantai ini ada 17 kamar yang terisi oleh saya, kamu dan kalian. Rata-rata satu kamar diisi 3 orang, sementara saya yang sendiri dilantai 3 hanya 2 orang. Kamar penuh sesak oleh barang bawaan yang tercampur aduk diruang berukuran kurang lebih 4 meter kali 4 meter. 

Didalamnya terdapat 3 buah kasur dengan seprei kuning atau putih. Meja panjang tepat berada didepannya.  Dibawahnya lemari kecil berwarna merah menambah kesan cantik kamar. Cermin setinggi orang dewasa menempel depan lemari 2 pintu. Beberapa gantungan baju didalamnya.

Kamu dan kalian pasti melihatnya semua kamar sama saja. Tidak bagi saya. Setiap kamar selalu membuat cerita yang berbeda. Kisah hati yang pastinya akan tertaut didalam kamar itu.
Penomoran kamar dimulai berdasarkan posisi lantai, 103 berada dilantai satu, 201 berada dilantai dua dan 301 berada dilantai 3. 

Cerita akan selalu tidak sama tiap kamar dan lantai. Dilantai satu beberapa kamar diisi dengan ibu hamil, menyusui dan para ahli kesehatan. Saya tak tau kenapa formasi ini bisa terjadi, mungkin karena ibu haml dan menyusui agar tidak kepayahan naik tangga. Dan jika terjadi apa-apa ahli kesehatan dapat menolong.

Lantai dua, ya ini posisi sentral gedung ini. Beberapa lelaki setengah tanggung dan wanita setengah linglung berada disini. Sedangkan lantai ketiga, ya hanya saya berdua dengan guru SD lugu.

Bagunan ini suatu saat akan bercerita diantara temboknya. Banyaknya orang yang tertaut hati dan perasaan. Ikatan yang mungkin sesaat atau lama. Simpul yang mati atau hidup. Atau mungkin pecinta yang entah mekar atau mati terbujur.

Selalu saja begitu. Saya juga tak tau, apakah desir ini mampu terjaga diantara keserakahan waktu  atau mungkin pagar tinggi yang tak bisa kutembus. 

Ahhhh sudahlah….. yang pasti engkau harus sederhana. Sesederhana aku mencintaimu dalam kediamanku. Dalam keterkurungan waktu yang tidak kuasa untuk kutembus… Sederhanalah dalam bertingkah, bertindak dan berhidup. Karena bukan kekayaan yang membuat kau indah dimata siapapun, termasuk saya. Tetapi kesahajaan dalam keserhanaamulah yang membuat saya jatuh hati dan mereka. Tak usah kau hias tubuhmu dengan barang duniawi yang akan usang, tetapi hiaslah jiwamu dengan taat kepada penciptamu. Karena jiwamu yang akan abadi dalam keabadianNYa.

Selamat malam kamu dan kalian… biarkan cintaku kuhanyutkan didalam palung terdalam digalaxy ini. 

1 Mei 2016 di Bontang


Saturday 30 April 2016

Hanya Satu Purnama Bersamamu





“Tok… Tok…. Sudah Bangun belum ?”

“Ehhhmm….. Iya “ Jawabmu singkat.

Bulan subuh ini tak sempurna, sudah tak sempurna bentuknya. Sabit bukan purnama bukan, bukan persoalan buatku.  Jam tangan hitamku menunjukkan pukul 5 pagi, ketika kususuri bangunan bertingkat 3. Dengan denah berbentuk segi empat terbuat dari semen negeri ini, da lubang besar ditengahnya dari dasar sampai atap menembus langit.   

Taman kecil yang tak terawat selalu kupandangi ditengahnya. Anak tangga berjumlah 44 kususuri tiap pagi. Suara alas kaki selalu saja membuat gaduh ketika harus kususuri. Lampu-lampu terangnya menghempas biasnya kemana-mana. Dindingnya dingin ketika kusentuh, tetapi selalu hangat ketika kepalan tanganku mengetok tiap kamarmu. 

Seruak udara dingin, rasanya tidak memadamkan semangatku membangunkanmu pagi ini. Pintu berwarna kayu coklat tepat disamping terdapat nomor kamar yang terbuat dari kaca bening. Tak lupa tempat sampah kecil didepannya ditemani dengan sapu usang. Pagar hitamnya terasa beku pagi ini., tetapi tidak meleburkan mauku. Kulihat sepatu dan sandalmu berbaris rapi entah disebelah pintumu, warnanya yang cantik membuat aku selalu tertarik memperhatikannya. 

Ketika ku ketuk, Suara-suara parau keletihan kudengar tiap pagi. Nyayian air guyuran membuat cerita pagi berawal dari airnya jatuh menyentuh ubin kream.  Kuselidik 17 kamar satu persatu, kudengar semua bersuara sama tak tau siapa yang mengajari kalian hingga menjawabpun harus sama. Kulihat lampu temaram diatas pintu yang tembus oleh kaca berukuran kecil. Pertanda engkau telah terbangun pagi ini. 

******
Ponsel hitamku bergetar, semua sibuk membangunkan satu dengan lainnya. “Bangun…. Apel pukul 6.15.” Itu pesan yang tiap pagi kudapati, semua saling sibuk mengingatkan. 

Kubergegas membasahi tubuhku dipancuran, hangatnya tak dapat kuatur. Entah siapa yang salah, ataukah saya yang teramat bodoh.  Kubersihkan kepenatan pagi ini dengan ditemani lantuan doa. Uapnya menempel dicermin yang tepat berada didepanku. Tak dapat kulihat jelas wajahku dikacanya, untuk dapat melihatnya harus kusapu dulu. Begitu pergumulanku tiap pagi.

kulihat kawan sekamarku tak kalah gesit, handuk yang sudah menjuntai dibawanya ke kamar mandi. Dengan sigap tak lebih dari 5 menit “Byar Byur” selesai perkara. Baju kebesaran berwarna putih tergantung rapi dalam lemari kayu, dipadupadankan dengan celana panjang hitam yang rasanya sudah dipasangkan sejak jaman adam.

Kupakai satu persatu seragam itu pagi ini, untuk bertemu kau. Setelah rapi, kusisir rambut yang sudah mendua warnanya, entah karena pikiran atau usia. Sepatu hitam mulai kuseka dengan semir cair, hitamnya terlalu dipaksakan. Dia sudah mulai keriput oleh langkahnya yang mungkin sudah ribuan mil, terseret diubin, pasir, semen dan tanah.

06.15 sudah kulihat dilayar kaca TV, yang kawanku nyalakan tiap ia terbangun. Selalu saja TV berukuran 40 inci yang menjadi focus utamanya. Entah bangun pagi ataupun baru tiba dikamar nyaman ini. tetapi selalu kunikmati keunikannya.

Segera saja, kuambil ransel hitam yang beratnya seperti 10 kg beras. Tentu dapat menebak isinya laptop, buku tebal, tempat pensil dan kertas-kertas entah bernilai atau tidak. 

Kuberjalan menuruni anak tangga sambil memegang pembatas hitamnya yang dingin. Suara riuh kalian menemani fajar yang sembunyi dibalik awan pagi ini. Sinarnya yang tak begitu terang, memnbuat pagi ini selalu saja diselimuti kedinginan. Tetapi rasanya tak kurasa kawan, mungkin karena berbaris bersamamu atau mungkin karena dinginnya suhu tubuhku kau buat berubah, lewat tawaan hangat yang selalu kurindu setiap pagi.

Seorang dengan tinggi 165an cm berdiri, usianya mungkin menjelang 30an. Postur tubuhnya sangat bagus, tegap dan proporsional. Dia berdiri tepat dihadapan barisan 4 bershaf dengan jumlah 38 orang. Semua berpakaian hitam putih, wanitanya hampir semua berjilbab, tersisa 3 atau 4 orang saja yang tidak menutupi rambut hitamnya.

Kami berdiri rapi dijalan dingin. Didepan kami berdiri kokoh bagunan 3 lantai asrama yang tegaknya sombong menjulang.  Aroma hujan dan rumput menyeruak menghampiri lubang-hidungku.  Ya… apel pagi hari ini. Pesannya “Jaga Kesehatan, kekompakan dan focus menyelesaikan tugas aktualisasi.” Tak panjang memang, tetapi setidaknya ada kata petuah dipagi buta ini untuk kami.

Setelah pasukan dibubarkan dari 4 bershaf derap langkah terdengar. Seolah sedang siapa berburu dihutan Malaya. Arus pasukan bergerak bersama ke sebuah ruangan luas, dengan  8 buah meja dengan 5-6 kursi tiap mejanya. Bentuknya bulat ditaplaki kain berwarna cokelat dibungkus plastik bening tebal. Bau campur aduk memasuki ruangannya. Lauk-pauk, sayur, nasi, kerupuk berjejer rapi bak tentara untuk siap disantap.

Selalu hangat pagi ini, bukan karena radiasi matahari, tetapi karena bias candamu. Selalu berenergi pagi ini, bukan karena makanan ini, tetapi karena sentuhan tulusmu. (to be continue)