Wednesday 10 September 2014

Mengapa kami menjadi Yatim ?

ketika masih duduk di STM
"Air mata jatuh tak tertahan kala saya pulang sekolah, yang ada ditudung nasi hanya beberapa gengam nasi dan tulang belulang ikan goreng" beginilah nasib menjadi Yatim. Tak apa inilah rezekiku yang tertunda mungkin, atau mungkin inilah tempaan yang langsung kudapat diusia beliaku. *1998


Hari ini seorang kawan bertandang kerumah kami. Wajahnya ceria, tubuhnya “anak sehat” dan rasaya tidak ada yang menyangka. Bawaannya periang bahkan saya bilang, mungkin jarang bersedih. 

Satu bulan belakangan ini, saya dan ading mencoba menggeluti bisnis tepatnya bedagang kali. Hehee.. jadi banyak bertemu dan bersilaturahim dengan orang yang baru atau lama kami kenal. Berdagang memang menyambung hubungan diantara penjual dan pembeli.

Ya.. tidak ada yang salah mungkin dengan dia. Saya menanyakan usia anak kecil yang dibawanya. Katanya usianya sudah 3 tahun 7 bulan. Wajahnya menggemaskan dan juga lincah. Tapi tidak seaktif Jenderal kecil tentunya. Ading yang menemaninya mengobrol, karena sudah janjian untuk mengambil barang pesanannya.

Dia asyik bercerita tentang pekerjaan dan bisnis yang juga dia jalankan. Menurutnya hampir semua bisnis diikutinya. Jadi semua produk yang “katanya” baguspun dicobanya.

Tidak disangka dia bercerita tentang suaminya yang telah tiada setahun lebih. Katanya orang terkasihnya meninggal karena sakit. Gagal ginjal yang tanpa diduga diderita suaminya membuat harus mengahiri usianya didunia. Dia tak menyangka, kejadian itu begitu cepat. Padahal usia anaknya baru menginjak 2 tahun lebih. Dan dia baru bersama dalam ikatan pernikahan belum cukup 5 tahun.

Usia suaminya tergolong muda ketika meninggal. Memasuki usia 25 tahun. Dia bercerita bahwa banyak kenangan yang dialami bersama suaminya. Walaupun rasanya dia bercerita seperti air mengalir, tanpa ekspresi sedih. Di akhir kisah “Sebenarnya saya tidak sanggup, sungguh tidak sanggup. Sempat saya mengurung diri dan tidak mau bekerja, tetapi saya pikir anak saya seperti apa ?.” Pikiran inilah yang membuatnya terperanjat dan harus “Move On” melanjutkan hidup. Untuk buah hati dan masa depannya.

Sedih, iba dan rasanya tak tega melihat anaknya di usia 2 tahun sudah harus yatim. Ditinggal oleh ayah. Saya jadi teringat 16 tahun lalu ketika saya baru menginjak SMP. Ayah saya dipanggil sang pencipta meninggalkan 6 orang anak. Yang terkecil berusia 8 bulan. Sementara saya berusia 13 tahun. Rasanya dunia mau runtuh tanpa tahu berpijak kemana. Ibu saya, hanya wanita rumahan yang selama ini kerjanya mengurus kami. Tidak ada keahlian dan warisan yang dapat dijual. Kami benar-benar dalam kemiskinan kala itu. Beberapa saudara saya harus dititip ke Panti Asuhan, agar beban hidup menjadi lebih ringan. Di Panti Asuhan, pendidikan saudara saya tak perlu dipikirkan lagi. Dan juga diakhir pekan jika rindu bisa pulang melepas kangen.

Ada satu adik saya, yang harus dititipkan jauh. Selama satu tahun dia harus menumpang di rumah paman yang berlainan kota. Dia harus sibuk berkebun dan menanam sayuran diusia yang sangat belia. Tahun kedua dia harus pindah dan ikut paman lainnya di Sulawesi. Saya tak ingat pasti berapa tahun dia menetap disana. 

6 saudara sudah tercerai berai kala orang tua saya meninggal. Jadilah saya yang menemani ibu dirumah. Agar tetap bersekolah, saya dan ibu tiap hari harus mengayam atap daun nipah. Dari upah itulah saya bersekolah. Membeli buku, transport angkot dan juga uang jajan.

Untunglah sebelum ayah meninggal, dia sudah membuatkan kami tempat tinggal. Rumah yang berukuran 6 m x 8 m ini setidaknya membuat kami tenang. Tak perlu lagi menumpang atau menyewa ditempat lain.

Ketika ayah masih hidup, saya ingat beliau sangat senang ke laut. Bayangkan saja, dia dulunya seorang fotografer yang sangat dikenal di Bontang.  Punya studio yang hampir semua orang kala itu (80an) berfoto disitu. Tetapi semua berubah, ketika studio fotonya dilalap api. Pada kali kedua ayah mencoba bangkit lagi, tetapi terbakar lagi. Disinilah kami jatuh miskin. Saya pikir mungkin karena frustasi, akhirnya dia memutuskan menjadi nelayan.

Kami beberapa kali berpindah rumah, sampai akhirnya menetap dirumah yang bersebelahan langsung dengan muara. Rumah kayu itu sangat luas, bentuknya seperti huruf L. Tiangnya semua dari ulin dan papannya terbuat dari meranti. Sangking luasnya, saya bisa bermain bola didalamnya. Saya tidak tahu pasti untuk apa rumah itu dibuat. Sepertinya dahulu ingin dijadikan tempat pelelangan ikan.

Beberapa saudara saya dilahirkan dirumah ini, cukup lama kami menumpang dirumah ini. hampir 8 tahun mungkin. setelah akhirnya bapak saya membeli sebidang tanah dibelakang rumah tersebut dan membuat rumah kecil untuk kami.

Mempunyai saudara yang banyak tentu ramai. Yang pastinya saling usil sesama saudara menjadi ritual sehari-hari. Ada saja yang menangis. Yang paling miris ketika saya pulang sekolah dan tak ada nasi dipanci. Jikapun ada lauk ikan, hanya tersisa kepala dan tulangnya saja.

Ketika bersekolah di STM N 1 Bontangpun kisah miris ini masih berlanjut. Ketika duduk di SMP kelas 3 saya sempat membeli sepatu bekas. Saya tidak tau apakah sepatu itu hasil curian atau memang si empunya jual. Merknya kala itu sangat terkenal di tahun 1999. Yang pernah merasakan gaul di zaman itu, sudah tau Neckerman kan. Sepatu itu saya beli kalau tidak salah Rp. 50.000. Sepatu yang keren dan juga gaul. Warnanya hitam dan tebal, sehingga jika memakainya bisa terlihat tinggi. Sepatu ini saya pakai selama hampir 4 tahun. Sampai saya lulus STM. Hampir tiap hujan datang, sepatu ini membuat saya malu. Sepatu ini sudah terkikis solnya sehingga berlubang tembus sampai kedalam. Jika ada genangan air, maka akan meresap hingga ke kaki. Jadilah jika saya buka sepatu ini, satu ruang kelas semerbak aroma “melati.” Semua pasti tahu itu kaki siapa.

Hampir setiap jenjang dari SMP sampai STM. Setidaknya saya terbantu oleh beasiswa. Otak saya lumayan encer kata teman-teman. Jadilah beberapa beasiswa pernah mampir, membayar uang SPP tiap bulan. Ada beasiswa berprestasi dan sepertinya kebanyakan beasiswa tidak mampu, mungkin karena saya yatim.

Menjadi yatim memang berat, saya mengerti bagaimana rasanya menjadi yatim. Ketika ibu hanya rumah tangga biasa, ketika ibu hampir tak punya keahlian apa-apa.

Rasanya setali tiga uang dengan istri saya. Di usia yang sangat muda, dia juga harus ditinggal ayahnya. Ketika dia duduk di kelas 2 SD. Mertua saya ketika itu berusia 23 tahun,  tidak lulus SD dan tidak punya keahlian.  Mendengarnya bercerita ketika menjalani hidup, tak terasa air mata menetes.

Menjadi anak yatim, kita kadang iri dengan keluarga yang utuh. Kita iri dengan kasih sayang. Kita iri dengan kepunyaan teman. Sementara kita hanya bisa bermimpi dan berangan-angan. Makan seadanya. Pakaian harus dijaga baik-baik agar tidak rusak. Sepatu hanya bisa diganti ketika sudah sangat rusak, jika masih bisa dijahit berarti umurnya masih panjang. Atau ketika semua anak naik kelas memakai baju baru, sementara kami harus rela memakai baju seragam yang dipakai dari masuk hingga lulus sekolah.

Ading bercerita, ketika sekolah dulu uang jajannya hanya Rp.1.000. Sementara untuk angkot dari Loktuan ke SMA Negeri 1 harus nyambung. Ketika itu sekali jalan tarifnya Rp.500.  Jadi uang itu hanya cukup untuk pergi sekolah saja. Sementara pulang nanti diurus belakang. Jika kadang bernasib baik, teman ada yang memberi ongkos pulang.

Ini yang rasanya tak adil kala itu, semua anak diwajibkan punya buku. Sementara kami, biaya angkot saja tidak cukup ke sekolah mau beli buku pelajaran. Jadilah si ading, harus mencatat semua isi buku agar tidak ketinggalan pelajaran. Ketika ada PR, harus datang lebih pagi ke sekolah karena harus mengerjakan dari meminjam buku pelajaran teman.

Jika ingat masa itu, sedih memang tetapi ya itu sudah berlalu. Mungkin karena itulah kami ditempa oleh hidup. Tidak lupa kepada masa itu, dan selalu melihat pada yang yatim.

Bukankah Rosullullah juga Yatim bahkan Piatu pula. Itu saja yang kadang menyenangkan kami. Rosul pernah bilang, bahwa doa anak yatim itu mustajab. Cepat di ijabah. Kadang kami merasa, kami mungkin orang pilihan yang diberikan garis tangan untuk yatim. Agar kami tahu rasanya tidak mempunyai seorang ayah. Agar kami banyak berdoa atau mungkin  pintu syurga sudah dibukakan untuk kami.

Wallahualam...

Masih banyak mungkin yang saat ini sudah merasakan menjadi yatim atau piatu. Harus bergelut dengan kemiskinan. Teruslah berdoa dan berharap hanya kepada Allah SWT. ingatlah Doa anak yatim adalah doa yang bisa menggetarkan Arsy. Doa yang terkabulnya sudah punya garansi. Dan teruslah belajar dari keyatiman kita. Mungkin Allah SWT dan Rosulnya sayang kepada kita. Maka kita menjadi Yatim.

Selamat Istirahat... Terima kasih kawan, yang sudah berkunjung kerumah kami. Mengajarkan dan mengingatkan kami dalam keyatiman kami. Agar banyak bersyukur dengan apa yang kami punyai sekarang.. Terima kasih...