Saturday 30 April 2016

Hanya Satu Purnama Bersamamu





“Tok… Tok…. Sudah Bangun belum ?”

“Ehhhmm….. Iya “ Jawabmu singkat.

Bulan subuh ini tak sempurna, sudah tak sempurna bentuknya. Sabit bukan purnama bukan, bukan persoalan buatku.  Jam tangan hitamku menunjukkan pukul 5 pagi, ketika kususuri bangunan bertingkat 3. Dengan denah berbentuk segi empat terbuat dari semen negeri ini, da lubang besar ditengahnya dari dasar sampai atap menembus langit.   

Taman kecil yang tak terawat selalu kupandangi ditengahnya. Anak tangga berjumlah 44 kususuri tiap pagi. Suara alas kaki selalu saja membuat gaduh ketika harus kususuri. Lampu-lampu terangnya menghempas biasnya kemana-mana. Dindingnya dingin ketika kusentuh, tetapi selalu hangat ketika kepalan tanganku mengetok tiap kamarmu. 

Seruak udara dingin, rasanya tidak memadamkan semangatku membangunkanmu pagi ini. Pintu berwarna kayu coklat tepat disamping terdapat nomor kamar yang terbuat dari kaca bening. Tak lupa tempat sampah kecil didepannya ditemani dengan sapu usang. Pagar hitamnya terasa beku pagi ini., tetapi tidak meleburkan mauku. Kulihat sepatu dan sandalmu berbaris rapi entah disebelah pintumu, warnanya yang cantik membuat aku selalu tertarik memperhatikannya. 

Ketika ku ketuk, Suara-suara parau keletihan kudengar tiap pagi. Nyayian air guyuran membuat cerita pagi berawal dari airnya jatuh menyentuh ubin kream.  Kuselidik 17 kamar satu persatu, kudengar semua bersuara sama tak tau siapa yang mengajari kalian hingga menjawabpun harus sama. Kulihat lampu temaram diatas pintu yang tembus oleh kaca berukuran kecil. Pertanda engkau telah terbangun pagi ini. 

******
Ponsel hitamku bergetar, semua sibuk membangunkan satu dengan lainnya. “Bangun…. Apel pukul 6.15.” Itu pesan yang tiap pagi kudapati, semua saling sibuk mengingatkan. 

Kubergegas membasahi tubuhku dipancuran, hangatnya tak dapat kuatur. Entah siapa yang salah, ataukah saya yang teramat bodoh.  Kubersihkan kepenatan pagi ini dengan ditemani lantuan doa. Uapnya menempel dicermin yang tepat berada didepanku. Tak dapat kulihat jelas wajahku dikacanya, untuk dapat melihatnya harus kusapu dulu. Begitu pergumulanku tiap pagi.

kulihat kawan sekamarku tak kalah gesit, handuk yang sudah menjuntai dibawanya ke kamar mandi. Dengan sigap tak lebih dari 5 menit “Byar Byur” selesai perkara. Baju kebesaran berwarna putih tergantung rapi dalam lemari kayu, dipadupadankan dengan celana panjang hitam yang rasanya sudah dipasangkan sejak jaman adam.

Kupakai satu persatu seragam itu pagi ini, untuk bertemu kau. Setelah rapi, kusisir rambut yang sudah mendua warnanya, entah karena pikiran atau usia. Sepatu hitam mulai kuseka dengan semir cair, hitamnya terlalu dipaksakan. Dia sudah mulai keriput oleh langkahnya yang mungkin sudah ribuan mil, terseret diubin, pasir, semen dan tanah.

06.15 sudah kulihat dilayar kaca TV, yang kawanku nyalakan tiap ia terbangun. Selalu saja TV berukuran 40 inci yang menjadi focus utamanya. Entah bangun pagi ataupun baru tiba dikamar nyaman ini. tetapi selalu kunikmati keunikannya.

Segera saja, kuambil ransel hitam yang beratnya seperti 10 kg beras. Tentu dapat menebak isinya laptop, buku tebal, tempat pensil dan kertas-kertas entah bernilai atau tidak. 

Kuberjalan menuruni anak tangga sambil memegang pembatas hitamnya yang dingin. Suara riuh kalian menemani fajar yang sembunyi dibalik awan pagi ini. Sinarnya yang tak begitu terang, memnbuat pagi ini selalu saja diselimuti kedinginan. Tetapi rasanya tak kurasa kawan, mungkin karena berbaris bersamamu atau mungkin karena dinginnya suhu tubuhku kau buat berubah, lewat tawaan hangat yang selalu kurindu setiap pagi.

Seorang dengan tinggi 165an cm berdiri, usianya mungkin menjelang 30an. Postur tubuhnya sangat bagus, tegap dan proporsional. Dia berdiri tepat dihadapan barisan 4 bershaf dengan jumlah 38 orang. Semua berpakaian hitam putih, wanitanya hampir semua berjilbab, tersisa 3 atau 4 orang saja yang tidak menutupi rambut hitamnya.

Kami berdiri rapi dijalan dingin. Didepan kami berdiri kokoh bagunan 3 lantai asrama yang tegaknya sombong menjulang.  Aroma hujan dan rumput menyeruak menghampiri lubang-hidungku.  Ya… apel pagi hari ini. Pesannya “Jaga Kesehatan, kekompakan dan focus menyelesaikan tugas aktualisasi.” Tak panjang memang, tetapi setidaknya ada kata petuah dipagi buta ini untuk kami.

Setelah pasukan dibubarkan dari 4 bershaf derap langkah terdengar. Seolah sedang siapa berburu dihutan Malaya. Arus pasukan bergerak bersama ke sebuah ruangan luas, dengan  8 buah meja dengan 5-6 kursi tiap mejanya. Bentuknya bulat ditaplaki kain berwarna cokelat dibungkus plastik bening tebal. Bau campur aduk memasuki ruangannya. Lauk-pauk, sayur, nasi, kerupuk berjejer rapi bak tentara untuk siap disantap.

Selalu hangat pagi ini, bukan karena radiasi matahari, tetapi karena bias candamu. Selalu berenergi pagi ini, bukan karena makanan ini, tetapi karena sentuhan tulusmu. (to be continue)