“Tok… Tok…. Sudah Bangun belum ?”
“Ehhhmm….. Iya “ Jawabmu singkat.
Bulan subuh ini
tak sempurna, sudah tak sempurna bentuknya. Sabit bukan purnama bukan, bukan
persoalan buatku. Jam tangan hitamku
menunjukkan pukul 5 pagi, ketika kususuri bangunan bertingkat 3. Dengan denah
berbentuk segi empat terbuat dari semen negeri ini, da lubang besar ditengahnya
dari dasar sampai atap menembus langit.
Taman
kecil yang tak terawat selalu kupandangi ditengahnya. Anak tangga berjumlah 44
kususuri tiap pagi. Suara alas kaki selalu saja membuat gaduh ketika harus
kususuri. Lampu-lampu terangnya menghempas biasnya kemana-mana. Dindingnya dingin
ketika kusentuh, tetapi selalu hangat ketika kepalan tanganku mengetok tiap
kamarmu.
Seruak udara
dingin, rasanya tidak memadamkan semangatku membangunkanmu pagi ini. Pintu berwarna
kayu coklat tepat disamping terdapat nomor kamar yang terbuat dari kaca bening.
Tak lupa tempat sampah kecil didepannya ditemani dengan sapu usang. Pagar hitamnya
terasa beku pagi ini., tetapi tidak meleburkan mauku. Kulihat sepatu dan
sandalmu berbaris rapi entah disebelah pintumu, warnanya yang cantik membuat
aku selalu tertarik memperhatikannya.
Ketika ku ketuk,
Suara-suara parau keletihan kudengar tiap pagi. Nyayian air guyuran membuat
cerita pagi berawal dari airnya jatuh menyentuh ubin kream. Kuselidik 17 kamar satu persatu, kudengar semua
bersuara sama tak tau siapa yang mengajari kalian hingga menjawabpun harus sama.
Kulihat lampu temaram diatas pintu yang tembus oleh kaca berukuran kecil. Pertanda
engkau telah terbangun pagi ini.
******
Ponsel hitamku bergetar,
semua sibuk membangunkan satu dengan lainnya. “Bangun…. Apel pukul 6.15.” Itu
pesan yang tiap pagi kudapati, semua saling sibuk mengingatkan.
Kubergegas
membasahi tubuhku dipancuran, hangatnya tak dapat kuatur. Entah siapa yang
salah, ataukah saya yang teramat bodoh. Kubersihkan
kepenatan pagi ini dengan ditemani lantuan doa. Uapnya menempel dicermin yang
tepat berada didepanku. Tak dapat kulihat jelas wajahku dikacanya, untuk dapat
melihatnya harus kusapu dulu. Begitu pergumulanku tiap pagi.
kulihat kawan
sekamarku tak kalah gesit, handuk yang sudah menjuntai dibawanya ke kamar
mandi. Dengan sigap tak lebih dari 5 menit “Byar Byur” selesai perkara. Baju
kebesaran berwarna putih tergantung rapi dalam lemari kayu, dipadupadankan
dengan celana panjang hitam yang rasanya sudah dipasangkan sejak jaman adam.
Kupakai satu
persatu seragam itu pagi ini, untuk bertemu kau. Setelah rapi, kusisir rambut
yang sudah mendua warnanya, entah karena pikiran atau usia. Sepatu hitam mulai
kuseka dengan semir cair, hitamnya terlalu dipaksakan. Dia sudah mulai keriput oleh
langkahnya yang mungkin sudah ribuan mil, terseret diubin, pasir, semen dan
tanah.
06.15 sudah
kulihat dilayar kaca TV, yang kawanku nyalakan tiap ia terbangun. Selalu saja
TV berukuran 40 inci yang menjadi focus utamanya. Entah bangun pagi ataupun baru
tiba dikamar nyaman ini. tetapi selalu kunikmati keunikannya.
Segera saja,
kuambil ransel hitam yang beratnya seperti 10 kg beras. Tentu dapat menebak
isinya laptop, buku tebal, tempat pensil dan kertas-kertas entah bernilai atau
tidak.
Kuberjalan
menuruni anak tangga sambil memegang pembatas hitamnya yang dingin. Suara riuh
kalian menemani fajar yang sembunyi dibalik awan pagi ini. Sinarnya yang tak
begitu terang, memnbuat pagi ini selalu saja diselimuti kedinginan. Tetapi rasanya
tak kurasa kawan, mungkin karena berbaris bersamamu atau mungkin karena
dinginnya suhu tubuhku kau buat berubah, lewat tawaan hangat yang selalu
kurindu setiap pagi.
Seorang dengan
tinggi 165an cm berdiri, usianya mungkin menjelang 30an. Postur tubuhnya sangat
bagus, tegap dan proporsional. Dia berdiri tepat dihadapan barisan 4 bershaf
dengan jumlah 38 orang. Semua berpakaian hitam putih, wanitanya hampir semua
berjilbab, tersisa 3 atau 4 orang saja yang tidak menutupi rambut hitamnya.
Kami
berdiri rapi dijalan dingin. Didepan kami berdiri kokoh bagunan 3 lantai asrama
yang tegaknya sombong menjulang. Aroma hujan
dan rumput menyeruak menghampiri lubang-hidungku. Ya… apel pagi hari ini. Pesannya “Jaga
Kesehatan, kekompakan dan focus menyelesaikan tugas aktualisasi.” Tak panjang
memang, tetapi setidaknya ada kata petuah dipagi buta ini untuk kami.
Setelah pasukan
dibubarkan dari 4 bershaf derap langkah terdengar. Seolah sedang siapa berburu
dihutan Malaya. Arus pasukan bergerak bersama ke sebuah ruangan luas,
dengan 8 buah meja dengan 5-6 kursi tiap
mejanya. Bentuknya bulat ditaplaki kain berwarna cokelat dibungkus plastik
bening tebal. Bau campur aduk memasuki ruangannya. Lauk-pauk, sayur, nasi,
kerupuk berjejer rapi bak tentara untuk siap disantap.
Selalu hangat
pagi ini, bukan karena radiasi matahari, tetapi karena bias candamu. Selalu berenergi
pagi ini, bukan karena makanan ini, tetapi karena sentuhan tulusmu. (to be
continue)