Sore
ini terasa berbeda, senja yang mengumpulkan lagi semangat masa lalu. Yang
terkadang tercerai berai oleh terjalnya hidup. Yang terkadang robek dengan
cobaan yang bertubi-tubi dan terkadang terseret arus dari mimpi yang belum
terwujud.
Semangat
yang rasanya terulang 17 tahun silam. Ketika masih memakai celana pendek
berwarna biru. Ya waktu SMP kala itu, takdir menemukan kami disebuah sekolah.
Yang dahulu begitu sederhana, tetapi teduh dengan senyum polos kami. Tingkah nakal dan usil kami kala itu masih
selalu kami tutur melalui tawa
nostalgia. Cinta, tangis, bermain dan belajar itu yang dapat
menggambarkan kami kala itu.
Separuh
umur kami itulah kata yang terucap kala kami berkumpul untuk bernostalgia dan
berbuka bersama. 17 tahun bukan waktu yang sebentar bagi kami untuk menjalin
persahabatan. Konflik dan intrik juga ada menghiasi hubungan kami. Terkadang
tidak ada sama sekali kontak, tak rajin bertegur sapa bahkan tidak tahu apa
kabar. Tapi badai rindu akan bersua yang selalu membuncah. Badai yang dinanti
kedatangannya setiap kali bertemu.
Sore ini (18/7) berbagai makanan terkumpul,
mulai sate ayam, gulai kambing, es teller, bakso, mihun, gorengan serta teh panas
melengkapi berbuka kami. Semua makanan ini, hasil saweran. Beberapa minggu
memang sudah merencakan buka bersama ini. Sehingga koordinasi melalui media social
begitu gencar diposting. Sehingga meminimalisir ada yang tidak menerima
undangan.
Berbagai
latar masalah dan masa lalu menghiasi perjalanan hidup kami masing-masing. Ada
yang duka berlumur air mata dan bahagia bertahta intan. Itulah hidup memang,
persahabatan ini membuat kami belajar banyak arti kehidupan, melalui pesan yang
disampaikan lewat cobaan sahabat kami. Tak lupa, menyemangati sahabat yang
sedang terpuruk menjadi arti bagi kami, dukungan berupa doa dan menyemangati
selalu tak henti.
Rasanya
tak ada persaingan selama 17 tahun ini, semua mengerti dengan kondisi
sahabatnya. Mendoakan yang terbaik bagi sahabat, selalu terlantun dalam doa-doa
kami. Menyemangati hidup kami bersama seolah seperti nafas kami, tak henti dan
bosan. Ya itulah kami, persahabatan yang terangkai melalui takdir tuhan,
dibingkai dalam keberagaman suku, agama dan warna kulit. Bahkan saya berkata
dalam hati “Memang kami dilahirkan dari rahim berbeda, darah yang tak sama tetapi kami disatukan
dengan cinta yang abadi.”
17 tahun silam
Siang
itu saya berdiri didepan sekolah, terdiam sendiri tak ada satupun yang saya
kenal. Sekolah ini terletak beberapa kilometer dari rumah saya. Ya Sekolah
Menengah Pertama Negeri 2 Bontang. Kondisi sekolah baru berdiri beberapa tahun.
Halaman terlihat gersang, pasir beterbangan dimana-mana. Sepatupun terlihat
berwarna berbeda ketika harus beradu dengan halaman ini.
Memasukkan
berkas untuk mendaftar disekolah ini agendaku siang itu. Ku gemgam map lusuh
yang sudah diremas dari beberapa hari yang lalu. Didalamnya berisi lembaran-lembaran
kertas syarat masuk sekolah ini. Bukan saya saja yang menunggu disini, beberapa
puluh anak beserta orangtua sedang bercakap-cakap. Entah apa yang dibicarakan,
seolah saya tak peduli.
Disudut
sebuat tiang saya lihat seorang anak yang cukup besar seingat saya. Wajahnya
tirus kulitnya putih dan tinggi. Saya beranikan diri untuk bertanya “Kenalkan
saya Kurniawan ?” mungkin kata itu yang saya ucapkan 17 tahun lalu. Diapun
tersenyum simpul “Saya Feri Hardian.”
Itu
teman pertama yang saya kenal ketika berada di sekolah ini. Teman yang sampai
saat ini masih tetap sebagai sahabat. 17 tahun yang silam terasa tak banyak
berubah dari dia. Sikap dan tuturnya masih sama. Mungkin yang sedang dia
pikirkan saya tak tau. Mungkin sejauh mana dia meniti kerikil tajam hidup yang
saya tak tau. Atau mungkin tangis yang dia teriakkan dihatinya sayapun tak tau.
Yang pasti dia masih tegak untuk hidupnya dan tentu untuk persahabatan kami.
(Cerita
yang lain nanti ditulis... sabar)
****
Banyak
cerita yang terbingkai dalam 17 tahun ini. Kelas kami memang penuh romantisme
masa puber. Mulai dari belajar mencintai dan dicintai. Belajar mencapai nilai
terbaik, hingga hukuman konyol yang harus kami jalani satu kelas.
Semua
punya cerita hidup. Ya Kara, Thaya, Vita, Adri, Irma, Afdal, Yusuf, Akli, Feri
kuadrad, Zakiah, Gondo, Junaid, Ardat, Lisa, Rahmat, Fitri Wong, Bunga Mei,
Asnan dan banyak lagi yang rasanya tak bisa saya sebutkan satu-satu.
Saat
ini semua telah banyak berubah, yang tak berubah tentu canda tawa diantara
kami. Entah sampai kapan kami bersama, hanya umur yang memutus rantai diantara
kami. Rantai yang dibangun dengan cinta yang kokoh.
Kawan,
sahabat, saudara itu yang mungkin menggambarkan mereka dihati saya. Tak ada
kata yang indah selain mengukir hari kedepan dengan saling menyemangati hidup.
Karena dukungan kalian adalah energi yang tak terhingga bagi kita semua. Energi
yang mengecas hidup yang mulai “lowbat” dan menggerakkan hati untuk selalu
“move on”
Life
must go on.... semoga kita selalu sehat
dan panjang umur untuk membingkai kisah ini.... salam cinta untuk kalian semua.