![]() |
ketika masih duduk di STM |
"Air mata jatuh tak tertahan kala saya pulang sekolah, yang ada ditudung nasi hanya beberapa gengam nasi dan tulang belulang ikan goreng" beginilah nasib menjadi Yatim. Tak apa inilah rezekiku yang tertunda mungkin, atau mungkin inilah tempaan yang langsung kudapat diusia beliaku. *1998
Hari ini
seorang kawan bertandang kerumah kami. Wajahnya ceria, tubuhnya “anak sehat”
dan rasaya tidak ada yang menyangka. Bawaannya periang bahkan saya bilang,
mungkin jarang bersedih.
Satu bulan belakangan ini, saya dan ading mencoba menggeluti bisnis tepatnya bedagang kali. Hehee.. jadi banyak bertemu dan bersilaturahim dengan orang yang baru atau lama kami kenal. Berdagang memang menyambung hubungan diantara penjual dan pembeli.
Satu bulan belakangan ini, saya dan ading mencoba menggeluti bisnis tepatnya bedagang kali. Hehee.. jadi banyak bertemu dan bersilaturahim dengan orang yang baru atau lama kami kenal. Berdagang memang menyambung hubungan diantara penjual dan pembeli.
Ya.. tidak
ada yang salah mungkin dengan dia. Saya menanyakan usia anak kecil yang
dibawanya. Katanya usianya sudah 3 tahun 7 bulan. Wajahnya menggemaskan dan
juga lincah. Tapi tidak seaktif Jenderal kecil tentunya. Ading yang menemaninya
mengobrol, karena sudah janjian untuk mengambil barang pesanannya.
Dia asyik
bercerita tentang pekerjaan dan bisnis yang juga dia jalankan. Menurutnya hampir
semua bisnis diikutinya. Jadi semua produk yang “katanya” baguspun dicobanya.
Tidak disangka
dia bercerita tentang suaminya yang telah tiada setahun lebih. Katanya orang
terkasihnya meninggal karena sakit. Gagal ginjal yang tanpa diduga diderita
suaminya membuat harus mengahiri usianya didunia. Dia tak menyangka, kejadian
itu begitu cepat. Padahal usia anaknya baru menginjak 2 tahun lebih. Dan dia
baru bersama dalam ikatan pernikahan belum cukup 5 tahun.
Usia suaminya
tergolong muda ketika meninggal. Memasuki usia 25 tahun. Dia bercerita bahwa
banyak kenangan yang dialami bersama suaminya. Walaupun rasanya dia bercerita
seperti air mengalir, tanpa ekspresi sedih. Di akhir kisah “Sebenarnya saya
tidak sanggup, sungguh tidak sanggup. Sempat saya mengurung diri dan tidak mau
bekerja, tetapi saya pikir anak saya seperti apa ?.” Pikiran inilah yang
membuatnya terperanjat dan harus “Move On” melanjutkan hidup. Untuk buah hati
dan masa depannya.
Sedih, iba dan
rasanya tak tega melihat anaknya di usia 2 tahun sudah harus yatim. Ditinggal oleh
ayah. Saya jadi teringat 16 tahun lalu ketika saya baru menginjak SMP. Ayah saya dipanggil sang pencipta meninggalkan 6 orang anak. Yang terkecil berusia 8 bulan. Sementara saya berusia 13 tahun. Rasanya dunia mau runtuh tanpa tahu berpijak kemana. Ibu saya, hanya
wanita rumahan yang selama ini kerjanya mengurus kami. Tidak ada keahlian dan warisan yang dapat dijual. Kami benar-benar dalam kemiskinan kala itu. Beberapa
saudara saya harus dititip ke Panti Asuhan, agar beban hidup menjadi lebih
ringan. Di Panti Asuhan, pendidikan saudara saya tak perlu dipikirkan
lagi. Dan juga diakhir pekan jika rindu bisa pulang melepas kangen.
Ada satu adik
saya, yang harus dititipkan jauh. Selama satu tahun dia harus menumpang di
rumah paman yang berlainan kota. Dia harus sibuk berkebun dan menanam sayuran diusia yang sangat belia. Tahun kedua dia harus pindah dan ikut paman lainnya di Sulawesi. Saya tak
ingat pasti berapa tahun dia menetap disana.
6 saudara
sudah tercerai berai kala orang tua saya meninggal. Jadilah saya yang menemani
ibu dirumah. Agar tetap bersekolah, saya dan ibu tiap hari harus mengayam atap
daun nipah. Dari upah itulah saya bersekolah. Membeli buku, transport angkot
dan juga uang jajan.
Untunglah sebelum
ayah meninggal, dia sudah membuatkan kami tempat tinggal. Rumah yang berukuran
6 m x 8 m ini setidaknya membuat kami tenang. Tak perlu lagi menumpang atau
menyewa ditempat lain.
Ketika ayah
masih hidup, saya ingat beliau sangat senang ke laut. Bayangkan saja, dia
dulunya seorang fotografer yang sangat dikenal di Bontang. Punya studio yang hampir semua orang kala itu
(80an) berfoto disitu. Tetapi semua berubah, ketika studio fotonya dilalap api.
Pada kali kedua ayah mencoba bangkit lagi, tetapi terbakar lagi. Disinilah kami
jatuh miskin. Saya pikir mungkin karena frustasi, akhirnya dia memutuskan
menjadi nelayan.
Kami beberapa
kali berpindah rumah, sampai akhirnya menetap dirumah yang bersebelahan
langsung dengan muara. Rumah kayu itu sangat luas, bentuknya seperti huruf L. Tiangnya
semua dari ulin dan papannya terbuat dari meranti. Sangking luasnya, saya bisa
bermain bola didalamnya. Saya tidak tahu pasti untuk apa rumah itu dibuat. Sepertinya
dahulu ingin dijadikan tempat pelelangan ikan.
Beberapa saudara
saya dilahirkan dirumah ini, cukup lama kami menumpang dirumah ini. hampir 8
tahun mungkin. setelah akhirnya bapak saya membeli sebidang tanah dibelakang
rumah tersebut dan membuat rumah kecil untuk kami.
Mempunyai
saudara yang banyak tentu ramai. Yang pastinya saling usil sesama saudara
menjadi ritual sehari-hari. Ada saja yang menangis. Yang paling miris ketika
saya pulang sekolah dan tak ada nasi dipanci. Jikapun ada lauk ikan, hanya
tersisa kepala dan tulangnya saja.
Ketika bersekolah
di STM N 1 Bontangpun kisah miris ini masih berlanjut. Ketika duduk di SMP
kelas 3 saya sempat membeli sepatu bekas. Saya tidak tau apakah sepatu itu hasil
curian atau memang si empunya jual. Merknya kala itu sangat terkenal di tahun
1999. Yang pernah merasakan gaul di zaman itu, sudah tau Neckerman kan. Sepatu itu
saya beli kalau tidak salah Rp. 50.000. Sepatu yang keren dan juga gaul. Warnanya
hitam dan tebal, sehingga jika memakainya bisa terlihat tinggi. Sepatu ini saya
pakai selama hampir 4 tahun. Sampai saya lulus STM. Hampir tiap hujan datang,
sepatu ini membuat saya malu. Sepatu ini sudah terkikis solnya sehingga berlubang tembus sampai kedalam. Jika ada genangan air, maka akan meresap hingga ke kaki. Jadilah
jika saya buka sepatu ini, satu ruang kelas semerbak aroma “melati.” Semua pasti
tahu itu kaki siapa.
Hampir setiap
jenjang dari SMP sampai STM. Setidaknya saya terbantu oleh beasiswa. Otak saya
lumayan encer kata teman-teman. Jadilah beberapa beasiswa pernah mampir,
membayar uang SPP tiap bulan. Ada beasiswa berprestasi dan sepertinya kebanyakan
beasiswa tidak mampu, mungkin karena saya yatim.
Menjadi yatim
memang berat, saya mengerti bagaimana rasanya menjadi yatim. Ketika ibu hanya
rumah tangga biasa, ketika ibu hampir tak punya keahlian apa-apa.
Rasanya setali tiga uang dengan istri saya. Di usia yang sangat muda, dia juga harus
ditinggal ayahnya. Ketika dia duduk di kelas 2 SD. Mertua saya ketika itu
berusia 23 tahun, tidak lulus SD dan
tidak punya keahlian. Mendengarnya bercerita
ketika menjalani hidup, tak terasa air mata menetes.
Menjadi anak
yatim, kita kadang iri dengan keluarga yang utuh. Kita iri dengan kasih sayang.
Kita iri dengan kepunyaan teman. Sementara kita hanya bisa bermimpi dan
berangan-angan. Makan seadanya. Pakaian harus dijaga baik-baik agar tidak
rusak. Sepatu hanya bisa diganti ketika sudah sangat rusak, jika masih bisa
dijahit berarti umurnya masih panjang. Atau ketika semua anak naik kelas
memakai baju baru, sementara kami harus rela memakai baju seragam yang dipakai
dari masuk hingga lulus sekolah.
Ading
bercerita, ketika sekolah dulu uang jajannya hanya Rp.1.000. Sementara untuk
angkot dari Loktuan ke SMA Negeri 1 harus nyambung. Ketika itu sekali jalan
tarifnya Rp.500. Jadi uang itu hanya
cukup untuk pergi sekolah saja. Sementara pulang nanti diurus belakang. Jika kadang
bernasib baik, teman ada yang memberi ongkos pulang.
Ini yang
rasanya tak adil kala itu, semua anak diwajibkan punya buku. Sementara kami, biaya
angkot saja tidak cukup ke sekolah mau beli buku pelajaran. Jadilah si ading,
harus mencatat semua isi buku agar tidak ketinggalan pelajaran. Ketika ada PR,
harus datang lebih pagi ke sekolah karena harus mengerjakan dari meminjam buku
pelajaran teman.
Jika ingat
masa itu, sedih memang tetapi ya itu sudah berlalu. Mungkin karena itulah kami
ditempa oleh hidup. Tidak lupa kepada masa itu, dan selalu melihat pada yang
yatim.
Bukankah Rosullullah
juga Yatim bahkan Piatu pula. Itu saja yang kadang menyenangkan kami. Rosul
pernah bilang, bahwa doa anak yatim itu mustajab. Cepat di ijabah. Kadang kami
merasa, kami mungkin orang pilihan yang diberikan garis tangan untuk yatim. Agar
kami tahu rasanya tidak mempunyai seorang ayah. Agar kami banyak berdoa atau
mungkin pintu syurga sudah dibukakan untuk kami.
Wallahualam...
Masih banyak
mungkin yang saat ini sudah merasakan menjadi yatim atau piatu. Harus bergelut
dengan kemiskinan. Teruslah berdoa dan berharap hanya kepada Allah SWT.
ingatlah Doa anak yatim adalah doa yang bisa menggetarkan Arsy. Doa yang
terkabulnya sudah punya garansi. Dan teruslah belajar dari keyatiman kita. Mungkin
Allah SWT dan Rosulnya sayang kepada kita. Maka kita menjadi Yatim.
Selamat
Istirahat... Terima kasih kawan, yang sudah berkunjung kerumah kami. Mengajarkan
dan mengingatkan kami dalam keyatiman kami. Agar banyak bersyukur dengan apa
yang kami punyai sekarang.. Terima kasih...