Sunday, 19 February 2017

Masa lalu yang “sakit”


Siapapun orangnya saya rasa pernah merasakan sakit hati, bisa mendalam atau hanya sesaat. Semuanya dipastikan pernah. Kesakitan paling banyak kita terima biasanya hinaan, cacian, hancurnya hubungan asmara, pengkhianatan atau bahkan kegagalan. Ada saja pelampiasan ketika kita mulai dari makan, pergi ketempat karaoke, menangis, tidur atau yang lebih parah minum minuman beralkohol dan bahkan memakai obat terlarang.

Sakit hati memang tidak terlihat mata, dia hanya bisa dirasakan terasa sesak di dada seolah jutaan ton beban yang menghantam, air mata tak terbendung untuk tumpah ruah mengalir deras menganak sungai rasanya tentu setiap orang mempunyai dosis dalam kesakitannya.

Apakah sakit hati yang membuat kita menjadi tawanan dalam kegundahan. Berapa banyak orang yang menyerah dengan sakit hatinya, dengan menyia-nyiakan kesempatan hanya dengan meratapi dan bisa berakhir dalam meregang nyawa.

Sakit hati sifatnya lebih kepada psikologi, pengaruh kondisi lingkungan sangat besar perannya dalam membentuk seberapa kuatnya kita dalam menghadapinya. Kadang perasaan yang dominan menguasai diri, membuat kehilangan akal sehat untuk memenej diri dalam kesakit hatiannya.
Kita diberikan perasaan dan akal, tentu mempunyai makna. Salah satunya ketika kita terlalu menuruti akal maka yang terjadi adalah hilangnya rasa. Jika kita terlalu terbawa perasaan maka akan melumpuhkan akal serta mematikan daya nalar.

Patutlah kiranya kita banyak belajar, bahwa kesakit-hatian bukan semata diratapi atau dikenang dalam bingkai kehinaan. Sepatutnya menjadi bahan bakar untuk mendorong perubahan dan mengalahkan perasaan sakit yang tak terlihat mata.

Seberapa banyak orang yang saat ini terkenal, bangkit dari kesakitan masa lalu. Serta seperti lahir kembali dari keterpurukan yang rasanya tidak akan bisa berdiri dan berjalan lagi dimasa depan, nyatanya tidak. Bahkan saat ini mereka dengan tegak mengatakan saya pernah sakit masa lalu. Semakin sakit masa lalu, maka saya akan semakin kuat untuk masa depan.

Kita sepertinya belajar banyak dari kedua negara di Asia ini, Korea Selatan dan Jepang. Kesakitan masa lalu membuat mereka menjadi kekuatan dimasa kini, bahkan mungkin dimasa yang akan datang. Jepang pernah luluh lantak oleh bom yang dijatuhkan Amerika pada perang dunia II, yang menghancurkan Jepang sehingga tidak mungkin bangkit lagi. Begitu juga Korea, perang saudara 1953 membawa Korea Selatan dalam penderitaan berkepanjangan, yang memisahkan dua saudara dalam wilayah utara dan selatan, yang rasanya mungkin akan lama untuk bisa berdiri dan berjalan menjadi negara maju.

Tetapi nyatanya tidak, jika dilihat saat ini rasanya kedua negara itu tidak pernah mengalami kesakitan yang perih, mereka hanya butuh waktu setengah abad membuat decak kagum dunia. Kedua negara ini sangat dominan mengusai teknologi, sains dan gaya hidup di dunia.

Kesakitan-kesakitan yang dibayar dengan pantas sekarang. Bukan hanya bergumul dengan rundungan kesedihan serta nostalgia usang. Atau bahkan dengan kata “seandainya”. Kita sering sekali hidup dalam kenangan masa lalu dan sering hanya menjadi kejayaan yang sudah runtuh.
Kerutuhan seseorang jika selalu berpikir hidup dalam masa lalu sementara dia berdiri dimasa sekarang.

Bergegaslah bangkit dari kesedihan sakit hati, toh dia tak ada obatnya. Membawa kesakitan mengarungi waktu rasanya lebih bijak, pepatah yang mungkin ada benarnya “Hanya waktu yang mengobati sakit hati” tetapi kita harus melanjutkannya dengan berkata “Aku akan menghapusnya dalam ritme detik dan akan kuukir kemenangan dimasa depan.”

Selamat berhari senin, janganlah kepala sakit ketika mendengar hari ini. Ini adalah pembuka hari dan pembuka rezeki ditengah ketidakpastian. Ayo runtuhkan kesakitan yang masih tersisa didinding hati.