Friday, 6 May 2016

Tak ada Purnama di Bontang





Tak ada Bontang hari ini untukku, yang ada hanya asrama berlantai 3. Yang ada hanya lorong panjang, yang kulewati setiap pagi dan sore, disampingnya berbaris tanaman hijau. Atau aroma pagi yang semerbak, embunnya tercium hingga ke sukmaku. Tak ada Bontang hari ini.

Pagi itu terasa berbeda, tidak seperti hari-hari yang kulewati dalam rutinitas bekerja. Atau kumpulan waktu yang kuarungi dalam penatnya pekerjaan yang bertubi-tubi menghantam. Kerutinan yang kian rutin diantara setumpuk kekosongan yang ada. Yang pasti bukan cuma saya merasa, saya yakin dirimu juga.

Tak ada yang salah dengan apapun yang terjadi. Dia hanyalah pusaran waktu yang menemukanku dengan dirimu. Sumbunya terus saja berputar melewati masa. Momentum dimana takdirku dan takdirmu bertemu di asrama berlantai 3. Jika engkau tau ada 240 juta rakyat Indonesia, yang semua berbeda dan punya cerita hidup. Tetapi, mengapa kita bertemu di asrama 3 lantai. 


Hari ini saya akan bercerita tentang semangat mudamu yang ikut membakarku. Auranya begitu dahsyat hingga mengoyak dinding-dinding kebosanan dalam rutinitas pekerjaan kita. Semangat yang mendobraknya seolah membuka ruang baru dalam pikiran dan jiwaku.

Jika engkau tau, kekosongan yang tiap hari kita lalui membuat dimensi yang menumpulkan perasaan kita. Ketumpulan yang rasanya tidak ada lagi hikmah dalam bekerja. 

Tetapi bertemu denganmu, ada rasa, tawa dan cinta yang baru kutemukan. Rasa jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Perasaan yang deras memompa darahku hingga membakar semangatku untuk bekerja. Kutemukan sebait filosopi hidup di asrama 3 lantai. 

Biarlah aku mengenangmu di asrama 3 lantai. Tak usah kau usik kenangan ini dengan cemoohan yang rasanya tak ingin kudengar. Satu, dua atau tiga bulan lagi engkaupun akan lupa dengan apa yang terjadi di gedung itu. 

Semua orang dapat membeli jam untuk melihat waktu semahal apapun, tetapi kita tak dapat membeli kenangan semurah apapun. 

Biarlah kutitipkan sekecing hatiku untuk kau simpan didalam labirin kenanganmu. Tak apa kau lupa. Biarkan saja dia tersesat dan tak bisa keluar. Tak apa… toh itu saja yang kupinta. 

Jika kau bertemu diriku dilain waktu, tegur sapapun darimu tak pernah kuharap. Karena sekeping hatiku telah ada dalam kenanganmu. 

Bontang, Jumat 12.47.

Sunday, 1 May 2016

“Purnama Kesederhaan”




Penat rasanya sore ini, berkumpul sudah letih yang memuncak diantara beban otak. Mata juga lelah entah harus diberikan apa agar dia terjaga. Secangkir kopi, ternyata juga tidak bisa menahan kepayahannya. 

Lengan baju putih kugulung sebatas lengan, dengan tarikan seadanya. Kerah baju mencekik dari pagi buta, kulonggarkan, dasinyapun turut ikut. Rambut sudah mulai sulit dikendalikan, semaunya jatuh kemanapun arah angina membawanya.

Ya… tak ada lagi tersisa tenaga. Tak ada lagi tersisa senyum diwajah yang berminyak dan kumal ini. Jam tangan hitamku menunjukkan tepat jam 6 sore. Sial, jam 06.45 harus bangkit lagi tuk mengisi lambug tengah yang sudah jengah menampung 4 pinggan siang ini.

Kuseret kakiku menuju kamar mandi yang berukuran 1 m x 2 m. kloset putihnya rapi berdiri disitu. Suara blower pekak selalu saja menyapaku setiap masuk. 

********
Tak ada yang istimewa hari ini, hampir tak ada. Yang ada mungkin hanya senyummu menghantuiku.  Tiitik itu aja.  

Sudah pasti kita tahu, siapa yang tak pernah dengar kata korupsi. Ya korupsi, kata yang membuat bangsa ini menjadi bangsa yang selalu terbelakang, ia bisa membuat bangsa ini selalu menjadi bahan olokan dan membuat negara ini hampir mati sekarat dan terbujur kaku tanpa tau akan hidup lagi apa tidak.

Kasar memang, tapi itulah yang terjadi. Para iblis berdasi mengincar apapun yang bisa dijual dari bangsa ini. Jangankan semen atau pasir. Kitab suci saja bisa dijual agar menampung keserahakan. Sudah tak ada lagi agama, dia hanya menjual ayat demi sesuap berlian haram.

Hari ini saya marah, semarah-marahnya. Jengkel sejengkel-jengkelnya. Karena mendengar itu. Ingin rasanya kutendang meja didepanku. Tetapi saya tak bisa berbuat banyak. Terlalu banyak sudah saya mencaci dan mengutuk para koruptor, tapi apa setiap pagi selalu saja ada yang tertangkap. Selalu saja ada yang melambai seolah tak punya dosa. Sialan…. dedemit berkepala manusia memang atau itulah iblis sesungguh-sungguhnya.

*******
Meja pagi ini berderet rapi, seperti biasa  saya, kamu dan kalian menunggu seseorang yang dianggap ahli. Jam dinding dibelakangku sudah menunjukkan pukul 07.15 pagi. Seorang ibu yang berusia 40an tiba didepan pintu. dengan wajah ceria dia mulai mengambil kuasa pada saya, kamu dan kalian. Wanita itu berjilbad dan berkacamata, tinggi sekitar 150an. Wajahnya yang selalu ceria siapapun berbiaca dengannya selalu dibuat takjub. Bahan kali ini korupsi, ya korupsi. Yang membuat saya, kamu dan kita keserupan atas marah yang tak bisa ditolerir.

Dia mengajarkan bagaimana menangkis korupsi, nilai yang ada dan harus mengedap diantara atma raga saya, kamu dan kalian katanya. Kata-kata Sederhana itu saja yang bisa saya tangkap hari ini dari mendengar kata korupsi. Kesederhanaan dalam apapun, apalagi hidup. Menurut saya susah untuk dijalani. Kesederhaan menerima takdir tetapi mampu, kesederhaan dalam ketawaduan tetapi pantas. Saya juga mengutuk diriku yang hanya bisa berkata tetapi sulit melakukan. 

Sederhana, siapa yang bisa hidup sederhana sementara godaan selalu membisik hampir setiap saat. Berdiri, duduk dan tidur godaan itu datang. Dunia yang sudah renta ini semakin hari semakin saja cantik, semakin saja seksi oleh keseksiannya. 

Kalian, saya dan kamu tahu nenek renta yang saya sebut bumi ini makin cantik. Lihat saja setiap hari selalu saja kita dibuat termohok. Kemauan dan naluri saya bagai banteng marah jika melihat dunia yang berwarna merah. Selalu saja ingin menyeruduk. 

Huff…. Dunia-dunia, selalu saja itu yang jadi bahan pembicaraan. Selalu menjadi tujuan yang fatamorgana. Yang selalu kita sebut sumber kemapanan dan sumber kebahagian.

Tetapi tidak untuk diriku, melihat kamu dan kalian tertawa sudah cukup. Ya cukup membuatku bahagia hari ini. Tidak ada energi semeletup hari ini, riak-riaknya membuat telaga menjadi riuh. Berharap menjadi gelombang.
*******

Malam itu kulalui lorong kelas yang gelap, hanya kursi berserakan dimana-mana yang terlihat. Bisa memang tetapi tidak untuk diriku, mereka seolah bercerita tentang hari yang kita, kamu dan saya lalui. Waktu yang rasanya ingin kuhentikan sejenak dan kubekukan agar tidak terlewat.

Kegelapan mengintaiku malam itu. Saya hendak mengambil beberapa lembar kertas ukuran besar dan dua buah spidol hitam. Untuk mencoret tugas yang mengganggu kepala, ketika harus bertemu bantal. Rasanya ingin kubuang gangguan itu, dan hanya mengisi kepalaku dengan kamu dan kalian.

Tak berapa lama berselang, saya harus bergegas ke bangunan tiga lantai.  Sesampai pada bangunan tiga lantai, semua suara telah lenyap. Senyap dengan kesunyian malam. Sinar bulan tampaknya tak muncul, dia hanya mengikuti takdirnya. ia seharusnya terbit ditengah malam hari. Karena waktu purnama telah berlalu.
*******

Saya akan bercerita tentang kamar, bangunan lantai ini ada 17 kamar yang terisi oleh saya, kamu dan kalian. Rata-rata satu kamar diisi 3 orang, sementara saya yang sendiri dilantai 3 hanya 2 orang. Kamar penuh sesak oleh barang bawaan yang tercampur aduk diruang berukuran kurang lebih 4 meter kali 4 meter. 

Didalamnya terdapat 3 buah kasur dengan seprei kuning atau putih. Meja panjang tepat berada didepannya.  Dibawahnya lemari kecil berwarna merah menambah kesan cantik kamar. Cermin setinggi orang dewasa menempel depan lemari 2 pintu. Beberapa gantungan baju didalamnya.

Kamu dan kalian pasti melihatnya semua kamar sama saja. Tidak bagi saya. Setiap kamar selalu membuat cerita yang berbeda. Kisah hati yang pastinya akan tertaut didalam kamar itu.
Penomoran kamar dimulai berdasarkan posisi lantai, 103 berada dilantai satu, 201 berada dilantai dua dan 301 berada dilantai 3. 

Cerita akan selalu tidak sama tiap kamar dan lantai. Dilantai satu beberapa kamar diisi dengan ibu hamil, menyusui dan para ahli kesehatan. Saya tak tau kenapa formasi ini bisa terjadi, mungkin karena ibu haml dan menyusui agar tidak kepayahan naik tangga. Dan jika terjadi apa-apa ahli kesehatan dapat menolong.

Lantai dua, ya ini posisi sentral gedung ini. Beberapa lelaki setengah tanggung dan wanita setengah linglung berada disini. Sedangkan lantai ketiga, ya hanya saya berdua dengan guru SD lugu.

Bagunan ini suatu saat akan bercerita diantara temboknya. Banyaknya orang yang tertaut hati dan perasaan. Ikatan yang mungkin sesaat atau lama. Simpul yang mati atau hidup. Atau mungkin pecinta yang entah mekar atau mati terbujur.

Selalu saja begitu. Saya juga tak tau, apakah desir ini mampu terjaga diantara keserakahan waktu  atau mungkin pagar tinggi yang tak bisa kutembus. 

Ahhhh sudahlah….. yang pasti engkau harus sederhana. Sesederhana aku mencintaimu dalam kediamanku. Dalam keterkurungan waktu yang tidak kuasa untuk kutembus… Sederhanalah dalam bertingkah, bertindak dan berhidup. Karena bukan kekayaan yang membuat kau indah dimata siapapun, termasuk saya. Tetapi kesahajaan dalam keserhanaamulah yang membuat saya jatuh hati dan mereka. Tak usah kau hias tubuhmu dengan barang duniawi yang akan usang, tetapi hiaslah jiwamu dengan taat kepada penciptamu. Karena jiwamu yang akan abadi dalam keabadianNYa.

Selamat malam kamu dan kalian… biarkan cintaku kuhanyutkan didalam palung terdalam digalaxy ini. 

1 Mei 2016 di Bontang