Penat rasanya
sore ini, berkumpul sudah letih yang memuncak diantara beban otak. Mata juga
lelah entah harus diberikan apa agar dia terjaga. Secangkir kopi, ternyata juga
tidak bisa menahan kepayahannya.
Lengan baju
putih kugulung sebatas lengan, dengan tarikan seadanya. Kerah baju mencekik
dari pagi buta, kulonggarkan, dasinyapun turut ikut. Rambut sudah mulai sulit
dikendalikan, semaunya jatuh kemanapun arah angina membawanya.
Ya… tak ada lagi
tersisa tenaga. Tak ada lagi tersisa senyum diwajah yang berminyak dan kumal
ini. Jam tangan hitamku menunjukkan tepat jam 6 sore. Sial, jam 06.45 harus
bangkit lagi tuk mengisi lambug tengah yang sudah jengah menampung 4 pinggan
siang ini.
Kuseret kakiku
menuju kamar mandi yang berukuran 1 m x 2 m. kloset putihnya rapi berdiri
disitu. Suara blower pekak selalu saja menyapaku setiap masuk.
********
Tak ada yang istimewa
hari ini, hampir tak ada. Yang ada mungkin hanya senyummu menghantuiku. Tiitik itu aja.
Sudah pasti kita
tahu, siapa yang tak pernah dengar kata korupsi. Ya korupsi, kata yang membuat
bangsa ini menjadi bangsa yang selalu terbelakang, ia bisa membuat bangsa ini
selalu menjadi bahan olokan dan membuat negara ini hampir mati sekarat dan
terbujur kaku tanpa tau akan hidup lagi apa tidak.
Kasar memang,
tapi itulah yang terjadi. Para iblis berdasi mengincar apapun yang bisa dijual
dari bangsa ini. Jangankan semen atau pasir. Kitab suci saja bisa dijual agar menampung
keserahakan. Sudah tak ada lagi agama, dia hanya menjual ayat demi sesuap
berlian haram.
Hari ini saya
marah, semarah-marahnya. Jengkel sejengkel-jengkelnya. Karena mendengar itu. Ingin
rasanya kutendang meja didepanku. Tetapi saya tak bisa berbuat banyak. Terlalu
banyak sudah saya mencaci dan mengutuk para koruptor, tapi apa setiap pagi
selalu saja ada yang tertangkap. Selalu saja ada yang melambai seolah tak punya
dosa. Sialan…. dedemit berkepala manusia memang atau itulah iblis
sesungguh-sungguhnya.
*******
Meja pagi ini berderet
rapi, seperti biasa saya, kamu dan
kalian menunggu seseorang yang dianggap ahli. Jam dinding dibelakangku sudah
menunjukkan pukul 07.15 pagi. Seorang ibu yang berusia 40an tiba didepan pintu.
dengan wajah ceria dia mulai mengambil kuasa pada saya, kamu dan kalian. Wanita
itu berjilbad dan berkacamata, tinggi sekitar 150an. Wajahnya yang selalu ceria
siapapun berbiaca dengannya selalu dibuat takjub. Bahan kali ini korupsi, ya
korupsi. Yang membuat saya, kamu dan kita keserupan atas marah yang tak bisa
ditolerir.
Dia mengajarkan
bagaimana menangkis korupsi, nilai yang ada dan harus mengedap diantara atma
raga saya, kamu dan kalian katanya. Kata-kata Sederhana itu saja yang bisa saya
tangkap hari ini dari mendengar kata korupsi. Kesederhanaan dalam apapun,
apalagi hidup. Menurut saya susah untuk dijalani. Kesederhaan menerima takdir
tetapi mampu, kesederhaan dalam ketawaduan tetapi pantas. Saya juga mengutuk
diriku yang hanya bisa berkata tetapi sulit melakukan.
Sederhana, siapa
yang bisa hidup sederhana sementara godaan selalu membisik hampir setiap saat.
Berdiri, duduk dan tidur godaan itu datang. Dunia yang sudah renta ini semakin
hari semakin saja cantik, semakin saja seksi oleh keseksiannya.
Kalian, saya dan
kamu tahu nenek renta yang saya sebut bumi ini makin cantik. Lihat saja setiap
hari selalu saja kita dibuat termohok. Kemauan dan naluri saya bagai banteng
marah jika melihat dunia yang berwarna merah. Selalu saja ingin menyeruduk.
Huff….
Dunia-dunia, selalu saja itu yang jadi bahan pembicaraan. Selalu menjadi tujuan
yang fatamorgana. Yang selalu kita sebut sumber kemapanan dan sumber
kebahagian.
Tetapi tidak
untuk diriku, melihat kamu dan kalian tertawa sudah cukup. Ya cukup membuatku
bahagia hari ini. Tidak ada energi semeletup hari ini, riak-riaknya membuat
telaga menjadi riuh. Berharap menjadi gelombang.
*******
Malam itu
kulalui lorong kelas yang gelap, hanya kursi berserakan dimana-mana yang
terlihat. Bisa memang tetapi tidak untuk diriku, mereka seolah bercerita
tentang hari yang kita, kamu dan saya lalui. Waktu yang rasanya ingin
kuhentikan sejenak dan kubekukan agar tidak terlewat.
Kegelapan
mengintaiku malam itu. Saya hendak mengambil beberapa lembar kertas ukuran
besar dan dua buah spidol hitam. Untuk mencoret tugas yang mengganggu kepala,
ketika harus bertemu bantal. Rasanya ingin kubuang gangguan itu, dan hanya
mengisi kepalaku dengan kamu dan kalian.
Tak berapa lama
berselang, saya harus bergegas ke bangunan tiga lantai. Sesampai pada bangunan tiga lantai, semua
suara telah lenyap. Senyap dengan kesunyian malam. Sinar bulan tampaknya tak
muncul, dia hanya mengikuti takdirnya. ia seharusnya terbit ditengah malam
hari. Karena waktu purnama telah berlalu.
*******
Saya akan
bercerita tentang kamar, bangunan lantai ini ada 17 kamar yang terisi oleh
saya, kamu dan kalian. Rata-rata satu kamar diisi 3 orang, sementara saya yang
sendiri dilantai 3 hanya 2 orang. Kamar penuh sesak oleh barang bawaan yang tercampur
aduk diruang berukuran kurang lebih 4 meter kali 4 meter.
Didalamnya
terdapat 3 buah kasur dengan seprei kuning atau putih. Meja panjang tepat
berada didepannya. Dibawahnya lemari
kecil berwarna merah menambah kesan cantik kamar. Cermin setinggi orang dewasa
menempel depan lemari 2 pintu. Beberapa gantungan baju didalamnya.
Kamu dan kalian
pasti melihatnya semua kamar sama saja. Tidak bagi saya. Setiap kamar selalu
membuat cerita yang berbeda. Kisah hati yang pastinya akan tertaut didalam
kamar itu.
Penomoran kamar
dimulai berdasarkan posisi lantai, 103 berada dilantai satu, 201 berada
dilantai dua dan 301 berada dilantai 3.
Cerita akan
selalu tidak sama tiap kamar dan lantai. Dilantai satu beberapa kamar diisi
dengan ibu hamil, menyusui dan para ahli kesehatan. Saya tak tau kenapa formasi
ini bisa terjadi, mungkin karena ibu haml dan menyusui agar tidak kepayahan
naik tangga. Dan jika terjadi apa-apa ahli kesehatan dapat menolong.
Lantai dua, ya
ini posisi sentral gedung ini. Beberapa lelaki setengah tanggung dan wanita
setengah linglung berada disini. Sedangkan lantai ketiga, ya hanya saya berdua
dengan guru SD lugu.
Bagunan ini
suatu saat akan bercerita diantara temboknya. Banyaknya orang yang tertaut hati
dan perasaan. Ikatan yang mungkin sesaat atau lama. Simpul yang mati atau
hidup. Atau mungkin pecinta yang entah mekar atau mati terbujur.
Selalu saja
begitu. Saya juga tak tau, apakah desir ini mampu terjaga diantara keserakahan
waktu atau mungkin pagar tinggi yang tak
bisa kutembus.
Ahhhh
sudahlah….. yang pasti engkau harus sederhana. Sesederhana aku mencintaimu
dalam kediamanku. Dalam keterkurungan waktu yang tidak kuasa untuk kutembus…
Sederhanalah dalam bertingkah, bertindak dan berhidup. Karena bukan kekayaan
yang membuat kau indah dimata siapapun, termasuk saya. Tetapi kesahajaan dalam
keserhanaamulah yang membuat saya jatuh hati dan mereka. Tak usah kau hias
tubuhmu dengan barang duniawi yang akan usang, tetapi hiaslah jiwamu dengan
taat kepada penciptamu. Karena jiwamu yang akan abadi dalam keabadianNYa.
Selamat malam
kamu dan kalian… biarkan cintaku kuhanyutkan didalam palung terdalam digalaxy
ini.
1 Mei 2016 di
Bontang