Wednesday 2 October 2013

Aku Ayah ASI #1




“Tak mungkin Allah SWT memberikan bayi tanpa satu paket dengan ASInya”


Keberhasilan ASI berkat dukungan suami bisa mencapai 98 %, tetapi jika tak ada dukungan suami hanya 26 %. Begitu kalimat yang saya ingat tentang kesuksesan ibu dalam memberikan ASI.

Baik saya akan bercerita tentang pengalaman ASI si ading sang istri tersayang. ASI atau Air Susu Ibu memang sangat mudah dikatakan, tetapi sulit untuk dijalankan. Begitu banyak sudah tau manfaat ASI terhadap anak, tetapi banyak juga yang hanya memberikan susu formula. Bagaimana dengan anda ?, apakah hanya menyakini tanpa menjalankannya.

Suami menurut saya, kunci penting dalam keberhasilan ASI. Tak boleh ditawar lagi, hukumnya fardu ain.  Kok bisa ?. Coba bayangkan, menjadi seorang ibu bukanlah kodrat yang mudah. Mulai dari proses hamil 3 bulan yang biasanya dilalui dengan mual, muntah ataupun pusing. Lalu dilanjutkan dengan berat badan yang “menggila” setiap bulannya. Jika diteruskan lagi, dengan persalinan. Ibu harus meregang nyawa untuk mengeluarkan bayi kedunia. Ditambah harus memberikan ASI. Bukan hal gampang. Luar biasa pengorbanan seorang ibu terhadap bayinya. Jadi pantaslah kiranya, suami memberikan motivasi sebesar-besarnya kepada ibu, agar memberikan ASI.

Saya akan bercerita tentang pengalaman saya, mendorong dan menyemangati istri agar tetap memberikan ASI kepada si kecil.

Sebelum melahirkan, saya dan istri sudah baca berbagai info tentang pentingnya ASI bagi bayi. Mulai dari membeli buku, hingga membaca blog-blog yang berhubungan dengan ASI. Setidaknya, itu memberikan gambaran, bagaimana persiapan ketika si kecil sudah lahir kedunia. Kondisi kami yang dua duanya bekerja, membuat kami harus matang dalam perencanaan memberi ASI.

Tahap persiapan

Beberapa bulan sebelum melahirkan, saya dan istri sudah mulai mencicil mengumpulkan botol kaca. Layanan BBM saat itu sangat membantu. Kami hanya broadcast ke semua kontak. Dan beberapa kawan merespon serta memberikan botol kaca yang tidak terpakai untuk kami ambil.

Istri juga hunting, produk pemerah ASI terbaik. Dipasaran sangat banyak alat perah ASI yang harganya murah, tetapi kualitasnya san
gat buruk. Sepertinya kenyamanan ibu kurang diperhatikan. Sehingga kami harus merogoh kocek dalam-dalam membeli pemerah ASI, yang “katanya” seperti isapan si kecil. Ya kami pikir “ada harga, ada rupa.”

Selain itu kami juga memberi semacam box, untuk menaruh sementara ASI. Jika memerah dilakukan di kantor, bisa dibawa pulang dengan menggunakan kotak tersebut. Didalamnya sudah ada paket es yang bisa dipakai berulang-ulang.  Sehingga ASI terjaga kualitasnya sebelum masuk kulkas rumah.

Persiapan lainnya. Kami membeli beberapa nipple yang berbeda bahannya. Mulai dari silicon sampai karet. Tujuannya jika diberikan kepada si kecil, yang mana dia paling suka. Tak lupa kami membeli semacam sendok susu, jika si kecil tak mau memakai nipple.

Itulah beberapa persiapan yang kami berdua lakukan. Sangat asyik memang dan kami menikmatinya. Belajar menjadi orang tua sungguh pengalaman yang luar biasa.

Setiap hari, saya selalu katakan. Bahwa ASI itu hak anak dan pemberian Allah SWT. Jadi tak mungkin tidak ada. Wong sudah hak, yang pasti dikasih satu paket bukan. Di kasih si kecil plus ASInya. Itu kira-kira kata-kata yang selalu saya ingatkan kepada istri.

Persalinan


Tulisan terdahulu saya sempat bercerita tentang persalinan Si ading. Mengharu biru, penuh dengan perjuangan hidup dan mati. Penuh dengan rasa sakit. Dan penuh dengan air mata duka dan suka.

Ketika selesai persalinan yang berlangsung sejak pukul 12 malam hingga 4 sore. Akhirnya si kecil keluar juga. Tak tau rasanya bagaimana kala itu, semua bercampur aduk. Senang, syukur, haru, tangis sudah teraduk dalam emosi dalam batin. Menyaksikan sesosok manusia telah bernafas dibumi.
Ketika itu, Si ading sudah tak berdaya. Persalinan normal yang berlangsung lebih dari 16 jam membuat dia kelelahan. Kurang istirahat pastinya.

Kami bersikukuh berdua, untuk memberikan ASI eksklusif kepada si kecil. Mertua menyarankan agar memberikan susu formula dulu, alasannya ASI belum keluar. Saya dan istri tetap pada keyakinan, jangan “dinodai” dahulu si kecil dengan susu buatan parbik. Yang kami tau, bayi dapat bertahan 24 jam tanpa ASI. Itu yang kami yakini.

Kulihat si ading, sudah mulai ada tenaga. Diambilnya si kecil lalu disusuinya. Tetapi si kecil malah menangis sekencang-kencangnya. “Tak ada ASI yang keluar” katanya. Saya lalu mengatak “Sabar, Tak mungkin Allah Swt memberikan bayi tanpa satu paket dengan ASInya” ucapku.

Beberapa jam, ASI tak kunjung ada. Sementara tangisan sikecil sudah meraung-raung kelaparan. Mertua mendesak memberi susu sapi. Tapi kami kukuh dengan keyakinan kami, ASI pasti ada. Memasuki hari berikutnya, perlahan ASI mulai keluar. Syukur tak terkira yang kami rasakan. Akhirnya janji itu benar adanya.  Kulihat si kecil sudah asyik dengan ASInya. Istri menangis bahagia. Dan sayapun mengecup kening istri serta tersenyum karena ASI telah disampaikan kepada yang berhak.

Itulah sepotong cerita tentang perjuangan dalam memberikan ASI kepada si kecil alias jenderal kancil kami. Saat ini, yang kami rasakan si kecil hampir jarang sekali sakit. Rasanya bisa dihitung dengan jari sampai usia 21 bulan. Biasa hanya demam, itupun jika diberikan ASI semalaman keesokan sudah sembuh. 

Dilain waktu saya akan bercerita tentang dahsyatnya ASI...  Semoga menginspirasi bagi pasangan yang akan mempunyai calon bayi....







1 comment:

Asep Haryono said...

ASI memang makanan yang utama yang penting buat pertumbuhan bayi. Kampanye ASI juga dipromosikan dengan gencar oleh Ibu Negara ANi Yudhoyono.

Anak saya yang pertama juga full ASI hingga usia 2 tahun. Sedangkan adiknya susu formula. Salam selalu dari kami sekeluarga di Pontianak. Kalimantan Barat