oleh : Kurniawan
Studi Kasus
Studi Kasus
SEMARANG - Soemarmo Hadi Saputro mengancam akan menggugat Wali Kota Semarang ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait dengan pemecatan dirinya dari jabatan Sekretaris Daerah Kota Semarang. "Kami telah melayangkan surat keberatan kepada Wali Kota Sukawi Sutarip atas pemecatan terhadap klien kami," ujar Bambang Tri Bawono, kuasa hukum Soemarmo, kemarin.
Dalam surat keberatan itu, Wali Kota Semarang diminta mencabut surat keputusan pemberhentian Soemarmo. "Jika dalam tujuh hari ke depan keberatan tersebut tidak direspons, kami akan mengajukan gugatan ke PTUN," kata Bambang.
Menurut Bambang, keputusan memberhentikan Soemarmo merupakan tindakan melanggar hukum. Pasalnya, pijakan hukum pemberhentian yang dipakai Sukawi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003. Padahal pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai produk hukum yang menyempurnakan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003. Undang-undang itu tidak membutuhkan peraturan pemerintah karena membahas persoalan yang sama. "Dasar inilah yang akan kami ajukan ke PTUN," kata Bambang.
Alasan kuasa hukum Bambang berbeda dengan pernyataan Wakil Wali Kota Mahfudz Ali, yang menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum bisa dilaksanakan. Sebab, katanya, belum disertai dengan peraturan pemerintah yang menandai pemberlakuan undang-undang itu.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan, pemberhentian sekretaris daerah harus mendapat persetujuan dari gubernur. Sebaliknya, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 menyebutkan, wali kota punya kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat di bawahnya.
Alasan lain yang akan disampaikan ke PTUN, Bambang menambahkan, adalah surat pemberhentian Soemarmo telah dikirim ke Gubernur. Artinya, pemberhentian kliennya harus dengan persetujuan Gubernur. Padahal Sukawi memberhentikan Soemarmo tanpa persetujuan Gubernur. "Dengan demikian, jabatan sekretaris daerah masih sah dipangku oleh Soemarmo," katanya.
Bambang juga akan menyoal penempatan Soemarmo sebagai staf ahli wali kota. Sebab, posisi staf ahli untuk jabatan eselon IIB, sementara pejabat eselon IIA seperti Soemarmo hanya pas untuk jabatan sekretaris daerah.
Wakil Wali Kota Semarang Mahfudz Ali menyatakan Pemerintah Kota Semarang siap menghadapi gugatan di PTUN. "Silakan mengajukan gugatan di PTUN. Kami siap mempertahankan keputusan," ujarnya.
Karier Soemarmo, 50 tahun, sebagai pegawai negeri dimulai dari staf Pembangunan Desa dalam Pemerintah Kota Semarang pada 1982. Ia pernah menjabat sebagai Lurah Kalipancur, Camat Ngaliyan, dan Camat Banyumanik.
Menurut rumor yang berkembang, pria kelahiran Bandung, 13 Agustus 1959, ini akan mencalonkan diri untuk jabatan Wali Kota Semarang pada 2010 lewat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Wah, itu isu," katanya.
Pendapat saya tentang kasus ini ;
Dilihat pada kacamata hukum memang ini kisruh yang terjadi hampir diseluruh daerah di Indonesia, kasus ini juga pernah terjadi pada Kota Bontang pada saat pencopotan Sekda Ir.Nurdin pada tahun 2004. Berbagai isu menyeruak pada kasus pencopotan Sekda yang “diduga” bermasalah dengan walikota yang sedang berkuasa. Mulai dari tindakan Sekda untuk maju sebagai calon walikota sampai sentiment pribadi.
Kasus yang terjadi disemarang ini juga mungkin bisa sedikit mewakili kasus-kasus PTUN yang ada dilingkungan Pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. Desentralisasi saat ini membawa semua pemimpin daerah mempunyai legitimasi untuk dapat menentukan jalannya pemerintahan daerah mereka sendiri.
Undang-undang pamungkas yang digunakan adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam UU ini mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perangkat daerah dan disempurnakan oleh UU No.12 Tahun 2008. Termasuk penunjukan dan pencopotan Sekertaris Daerah Kabupaten/Kota. Dalam UU No.32 tahun 2004 disebutkan dalam pasal 122 ayat 3 berbunyi :
Sekretaris Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul
Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Menurut UU ini bahwa sekertaris daerah diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Bupati/Walikota.
Sementara pada PP.09 Tahun 2003 pada pasal 14 ayat 1 berbunyi :
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan :
a. pengangkatan Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat persetujuan dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;
b. pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota;
c. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon II di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
d. pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari jabatan struktural eselon III ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan jabatan struktural eselon II ke bawah di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Sementara di ayat 2 berisi tentang peran Gubernur :
(2) Pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota dan pejabat struktural eselon II sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, dilakukan setelah berkonsultasi secara tertulis dengan Gubernur.
Disini jelas sekali bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian (Bupati/Walikota) berhak untuk mengkat dan memberhentikan sekertaris daerah setelah berkonsultasi secara tertulis dengan gubernur, walaupun terkadang sudah dicopot baru bupati/walikota melayangkan surat ke gubernur.
Dua azas hukum ini saling bertentangan, UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa mengangkat dan memberhentikan sekda adalah gubernur atas usul bupati/walikota, sementara PP No.9 Tahun 2003 menyatakan bahwa yang mengangkat dan memberhentikan sekda adalah Bupati/Walikota setelah dikonsultasikan secara tertulis dengan gubenur.
Ini yang menjadi masalah ketika terjadi pencopotan yang dilakukan oleh Bupati/Walikota maka akan memakai azas hukum PP. No 9 tahun 2003 yang berpangkal pada UU No.8 1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Sementara UU No.32 tahun 2004 dikesampingkan, padahal segala sesuatu tentang pemerintahan daerah dasar hukumnya pada UU No.32 tahun 2004 walaupun memang belum ada PP yang mengatur UU No.32 tahun 2004, tetapi isinya sudah cukup lengkap dan jelas mengatur masalah ini.
Ini menjadi kasus PTUN karena disini ada pertentangan dua dasar hukum, menurut pandangan saya, ketika dua dasar hukum ini dibenturkan maka kita hendaknya melihat pada hirarki hukum. Menurut Tap MPRS/XX/1966 tentang Peraturan Perundang-undangan. Tata Urutan Peraturan Perdundangan dimulai dari ;
- 1. UU 1945
- 2. Ketetapan MPR
- 3. UU
- 4. Perpu
- 5. PP
- 6. Kepres/Inpres
- 7. Permen/Inmen dll
Jadi kalau dilihat dari urutan hukum harusnya pada PTUN memenangkan Sekertaris Daerah yang dicopot tanpa melalui Gubernur, karena kalau dilihat dari Tata urutan peraturan perundangan UU memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dibanding dengan PP. Jadi apabila peraturan bertentangan dengan aturan diatasnya bisa dikatakan pertaturan tersebut gugur demi hukum.
Memang diakui pencopotan yang dilakukan oleh Bupati/Walikota yang tanpa mengindahkan UU No.32 Tahun 2004 masih banyak bersifat politis. Ini yang membuat kadang menjadi kebingungan ditengah masyarakat atas tindakan pemegang kekuasaan yang mencari celah dalam melegalkan segala tindakannya.
Sebaiknya kedaua peraturan perundangan ini diuji materil di Mahkamah Konstitusi agar semua daerah mendapat kepastian hukum atas tindakan pencopotan sekda yang tanpa melalui gubernur.
Sumber :
- - Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
- - Undang-Undang No.12 Tahun 200 Perubahan kedua atas UU No.,32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
- - Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 Tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, Dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
- - Hukum Tata Pemerintahan oleh Tri Widodo W.Utomo, SH, MA.
- - www.detik.com
No comments:
Post a Comment