Dear my wife
Aku
memang tidak sesempurna Saidina Ali bin
Abi Thalib dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak khilaf dan salah yang
kadang membuatmu jengkel, tapi yang pasti
aku
mencintaimu dengan tulus.
Mei 2002
Prevab Mentoko, Taman Nasional
Kutai
|
Prevab, Mentoko TN. Kutai |
|
“Ambilkan selimut, ambilkan selimut. Ada yang
tenggelam” Ujar Firman. Segera saja kami sibuk mencari sesuatu untuk bisa dijadikan
selimut. Entah sarung atau apapun yang dapat menghangatkan badan. Keadaan panik
waktu itu mencekam, belum ada kabar tentang siapa saja yang selamat dari
tragedi karamnya dua kapal ketinting. Wajah-wajah pucat jelas sekali dirona dan
raut muka teman-teman.
“Siapkan air panas, buat teh ataupun kopi yang
penting menghangatkan.” Pesan yang begitu jelas dalam ingatanku kala itu.
Senja yang begitu gelap, arus sungai yang sudah
tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Belokan-belokan bagai mengular yang juga
tak jelas ujungnya. Suara binatang malam mulai bernyanyi menyambut hening
malam. Berteriak-teriak tiada henti membuat siapapun mendengar merasa takut.
Sungai sangata sudah sangat terkenal keangkerannya.
Ya, buaya sangata. Sudah beberapa korban yang direngut ketika lapar tiba dan
tidak ada makanan lain. Cerita ini yang selalu tergiang-giang dikepala kami. Ketakutan
akan disantap buaya sebagai makan malam. Ditambah lagi beberapa teman tidak
dapat berenang dan tidak memakai pelampung. Ini yang membuat kami panik bukan
kepalang.
Nyanyian jangkrik merdu malam ini, menggantikan
deru mesin yang selalu didengar dikota. Aroma bunga kenanga, seperti
menghipnotis kemagisan hutan. Suara katak selalu menyahut dimana-mana. Entah apa
yang mereka nyanyikan. Prevab begitu mencekam malam ini. Tempat ini sebagai
pusat penelitian orang utan di Taman Nasional Kutai. Lokasi yang harus ditempuh
dengan kapal motor tempel selama 15-30 menit tergantung arus sungai.
Dari kegelapan, tiba-tiba muncul beberapa orang
yang saya kenali. “Itu mereka datang, ujar salah seorang teman.” Langsung saja
rentetan pertanyaan dicecar untuk menyelidik sebab karamya dua buah kapal, dan
siapa yang menjadi korban.
“Alhamdulillah semuanya selamat, hanya barang
bawaan basah semua.” Ternyata kapal yang ditumpangi bocor, sementara nakhoda
kapal tidak tau. Tiba-tiba air sudah memenuhi kapal. Penumpang panik, kapalpun oleng,
akhirnya tenggelamlah kapal. Sementara kapal kedua menabrak gundukan tanah yang
ada dibelokan sungai. Malam gelap gulita dan tidak ada satupun penerangan
membuat kejadian menjadi mencekam ketika karam.
Segera saja teh dan kopi hangat disantap dibungkus
dengan sarung ataupun selimut yang kami sediakan. Semua begitu asyik bercerita
kejadian yang baru dialami. Kamipun mendengar dengan teliti kejadian demi
kejadian. Berharap mengambil hikmah.
Suasana cepat sekali berlalu, kejadian yang begitu
dramatis tadi sudah dilupakan. Tawa muncul lagi menemani malam di Hutan Rimba. Saya
lihat tiga orang membuka “lapak,” untuk meramal nasib masa depan. Entah benar
atau tidak yang pasti semua menikmatinya. Ada yang memakai kartu remi, garis
tangan dan jempol kaki. Aku juga tak mau kalah, kubuka juga lapak untuk meramal
yang aku pelajari dari buku. Saya tak peduli kebenarannya, hanya menebak apa
yang kartu muncul. Beberapa teman mengangguk-angguk saat dibacakan kartunya. Sayapun
kadang menebak-nebak saja. Yang penting semuanya senang malam itu.
Diantara gelak tawa itu, kulihat wanita yang
menarik perhatianku. Wajahnya tidak cantik, tetapi anggun. Bentuk muka tirus,
tetapi berahang. Matanya jelas sekali terlihat dikejauhan, mungkin alis mata
yang tebal dan hitam menambah ketajamannya. Rambutnya dikepang seperti ekor
kuda. Wajahnya putih pualam, serta senyum yang merekah bak sekuntum bunga. Tubuhnya
tegak seolah telah terlatih dengan jalannya yang tegap.
Sudah beberapa kali saya bertemu denganya, tetapi
masih dapat dihitung dengan jari. Dia sosok yang santun dan lugu, bahkan
terkesan lucu.
Rumah terbuat dari ulin (kayi besi) yang kami
naungi hanya berwarna hitam saja yang terlihat dimalam hari. Penerangan dari
solar sell, redup-redup menyinari aula pertemuan. Sarang laba-laba jelas terlihat
disudut-sudut. Binatang malam, entah apa saja yang beterbangan menghinggapi
lampu dan melintas.
Segera saja kuajak dia untuk mengobrol bersama teman-teman
diujung jembatan. Papan tersusun rapi dan kokoh. Disampingnya terdapat kursi
panjang untuk duduk bersama. Diantara rerimbunan pohon, gelak tawa menemani candaan
kami. Cerita yang tidak jelas juntrungannya. Sungguh kenangan yang tidak
terlupakan. Sekian lama bercakap, satu persatu teman-teman mulai mengantuk dan
hilang dari pandangan.
Tinggal kami saja berdua. Disela-sela kehadiran
kami, tampak rembulan yang sembunyi dibalik rerimbunan pohon-pohon tua. Sinarnya
menembus kegelapan malam. Hanya biasnya yang kami terima, tetapi cukup
menerangi. Kami mulai asyik bercerita apa saja yang anggap layak dicerita. Mulai
dari hoby, teman, makanan dan sekolah. Kulihat dia begitu bersemangat bercerita,
dengan raut muka yang berapi-api. Saya hanya tersenyum simpul melihat
tingkahnya.
Suara sungai merdu membelah malam, riaknya terlihat
dikeremangan malam. Daun-daun bergoyang mengikuti perintah angin. Kelelawar beterbangan
menembus gulita, seolah tak peduli dengan kehadiran kami.
Tak terasa merah jingga sudah menggantikan gelap
gulita. Lolongan orangutan sudah terdengar menyambut pagi. Ayam hutan mulai
bernyanyi ditemani kicauan burung. Pohon-pohon berwarna keemasan disinari
matahari pagi. Kami tersadar bahwa asyik bercerita hingga pagi menjelang. Malam
panjang diisi dengan bercerita seperti kawan lama yang lama tak bersua. Malam yang
diisi dengan gelak tawa yang memecah keheningan malam. Sungguh sulit dilupakan,
bercerita sepanjang malam diantara kelebatan hutan rimba. Ditemani suara alam,
yang komposernya begitu Agung. Dalam remang malam disaksikan bintang dan bulan.
Sosok yang dahulu begitu menarik perhatian,
sekarang sudah menjadi pendamping hidupku. Cerita yang diukir dengan tinta yang
indah, sekarang diukir dengan tinta emas pernikahan.
Sayang, aku selalu mencintaimu, kemarin, hari ini
dan nanti... Muahhhhhh.........