Tuesday, 29 January 2013

Merenungi perenungan

“Malam ini kita siap berperang Batman,” ujar robin. “Tidak malam ini kita merenung saja.” jawab batman. “Sudah terlalu lama kita dengan malam, sehingga kita lupa siapa diri kita.”

Sudah terlalu banyak asap yang membuat kita kalut dalam kabut. Dan sudah terlalu banyak noda yang menghitam dan mengerak hingga wajah kitapun tak kita kenali.

Lorong-lorong masa sudah kita lewati, bukan. Lalu apa yang kau tarik dari lorong yang telah kita lewati. Apakah hanya sedih atau gusar dengan semuanya keadaan sekarang, ataukah tak peduli pada gerbong waktu yang telah lewat. Rodanya telah menggilas kita, dengan sombongnya tanpa tau kita akan kemana.
Jejak rodanya telah terlihat diwajah kita dengan kerutan yang tidak bisa tersamar dengan bedak tebal. Jejaknya terlihat diantara yang hadir diantara kita, hadir dalam ketiadaan menjadi ada.

Terlalu lelahkah melihat kabut asap sehingga kita tak dapat melihat diri kita.. atau terlalu kotorkah diri kita sehingga kitapun tak dapat mengenali siapa kita.
“Kembali merenung.” Jawabmu lirih.

Menerka-nerka dan mencari diantara rerimbunan memori usang. Ingatan yang sudah penuh sesak dengan barang. Kenangan yang sudah tertumpuk dan tertimbun dalam lumpur. Dimanakah kucari yang kurenungi.

Apakah aku tersesat diantara perenungan. atau apakah aku tak bisa lagi merenungi yang harus direnungkan.

Waktu sudah menginjak-nginjak kita. Dengan pongahnya, menertawakan dan meludahi kita. Patut kurenungkankah ? atau renungan yang harus direnungkan lagi.

Menyambungkan kabel-kabel masa lalu dan kini yang hanya kulakukan. Mencari jalurnya diantara sempitnya memori usangku. Menemukan kembali asalnya diantara tumpukan debu yang menebal dan membuatnya buta.

Kurenungkan dalam tiada kepastian perenungan... apa yang harus kurenungkan... kemanan perenungan berujung.. Tolong aku Ya Allah SWT.... aku rapuh diantara semuanya... aku lemah diantara ciptaanmu.. aku papa diantara biduk duniamu... Tolong Akuuuu..............


Wednesday, 23 January 2013

Kanker Payudara


Kemaren saya dan istri sempat mengunjungi seorang istri teman yang sedang mengalami kanker payudara. Beberapa bulan lalu saya dengar dia sudah sangat parah, bahkan suaminya sering menikkan airmata karena keadaan istrinya. Sudah tidak ada harapan. Semua usaha telah dilakukan. Biaya sudah banyak yang keluar.
Kegiatan rutin bulanan harus kontrol dan kemoterapi di jawa. Menurutnya tiap hari hampir 210 orang yang antri untuk pengobatan berbagai jenis kanker. Sehingga diapun mengontrak sebuah kamar untuk menginap. Harga kamar mulai dari Rp.30.000/hari sampai ratusan ribu.

Wajah sedih dan suram menghiasi antrian. Saling curhat tentang kondisi masing-masing sebagai penghibur dikala mengantri. Menurut penuturannya ada salah satu pasien yang bercerita dahulunya, ia mengidap kanker payudara. Pengobatan kemoterapi dilakukan sampai sembuh total. Tak disangka lima tahun kemudian dia divonis terkena kanker tulang.

Beberapa bulan yang lalu, menurutnya dia sudah sangat parah bahkan benjolan mulai tumbuh dileher dan lengannya. Borok di payudara sudah menggerogoti. Nanah dan darah mengalir deras tak henti-henti. Badan sudah tidak bisa bergerak. Tempat tidur sebagai tempat peraduan yang semuanya dilakukan disitu. Bahkan jika ke kamar mandi suaminya harus menggendong.

Sudah tidak ada harapan. Titik. Hanya kematian yang dibayangkan. Kematian selalu menghantui tiap nafas. Mata sudah tak kuat untuk melihat, raga sudah tak sanggup untuk berdiri. Bahkan kata-kata terakhir sudah terucap “titip anak pak, jika saya meninggal.” Beberapa tetangga yang juga terkena kanker sudah pergi mendahului, padahal berobatnya hingga keluar negeri.

Tiba-tiba mendengar bahwa benalu batu bisa mengobati kanker. Tak begitu lama dia mendapat kiriman benalu dari sulawesi. Benalu batu didapat dari gunung batu. Mencarinya harus mendaki gunung bercadas dan terjal. Sekali mencari yang didapatpun tidak seberapa.

Benalu batu lalu direbus dengan 3 gelas air. Didihkan menjadi satu gelas. Menanaknya harus menggunakan kuali tanah. Satu bungkus bisa digunakan 3 kali. Setelah dua bungkus diminum berangsur benjolan menghilang.

Setelah rutin meminum dia dapat berjalan lagi dan dapat beraktifitas. Yang mengejutkan hasil Ctscan menunjukkan akar pada kanker payudara sudah mati. Dia sangat bersyukur tuhan masih memberikan kesempatan, umur dan semoga perlahan-lahan sel-sel kanker yang ada bisa menghilang dari tubunya. Kuasa Allah SWT...

Semoga Ibu diberikan kesembuhan............. aminnn............

Sunday, 13 January 2013

Teguran di Hari Jumat


Pagi yang indah memulai aktivitas. Kubangun semangat yang sudah mulai, cerai berai dari senin sampai kamis. Semangat sudah terseok diantara ranting-ranting runinitas. Hanya semangat berlibur yang kuingat. Libur hampir tiba untuk bermalas ria diatas kasur yang empuk. Suhu AC yang dingin dan suara musik yang mengiring kemalasan.

Hari ini Jumat, hari yang begitu agung menurut Sunah Rosulullah. Hari dimana hari ini kejadian-kejadian besar terjadi, termasuk hari kiamat. InsyAllah dihari Jumat.  Hari dimana, terdapat kemuliaan. Jika tak percaya hari ini mulia, cobalah tengok jika hari ini kaum laki-laki berbondong-bondong ke masjid, Hari dimana banyak orang bersedekah dan hari dimana banyak orang berdoa dengan khusuk.

Masjid tumpah ruah, meluber hingga teras. Sandal berwarna –warni aneka bentuk. Suara air mengalir terdengar keras dari area wudhu. Motor dan mobil parkir berjejer hingga menutupi pinggir jalan.
Wajah-wajah khusuk saat sholat sunah bisa begitu dilihat. Orang pada menutup mata, mencoba meresapi tiap bacaan yang dilapazkannya. Dengan mulut komat-kamit. inilah bukti hari yang agung.

Siang ini, saya duduk dibarisan ketiga shaf sholat jumat. Karpet hijau berhampar begitu rapi, dengan bau yang menyejukkan hati. Para makmum duduk dengan khususknya. Warna-warni baju dan peci mengias masjid. Aroma farfum menusuk hidung dan bercampuk mengaduk ruangan. Aku duduk bersila dan diam sambil menunggu Khotbah. Seorang khatib berdiri tegak didepan, bagai karang yang menjulang tinggi dengan tongkat kayu ditangan kanan. Sorban putih menghias bahunya. Peci hitam membalut kepala dengan menampakkan uban yang sudah memutih. 

“Setiap detakan jantung kita harus ada syukur didalamnya.” Begitu mungkin sari pati yang dapat aku petik hikmahnya. Saat ini banyak sekali orang yang tidak bersyukur atas nikmat. Orang hanya mengukur nikmat dari segi materi. Harta, uang, tanah dan tabungan menjadi ukuran. Padahal, jauh dari pada itu nikmat sesungguhnya iman dan kesehatan.

Telah banyak manusia, yang mempertuhankan hartanya. Berhala yang dahulu hanya patung membisu, kini gadget, mobil, perhiasaan, hobi, life style, anak dan lainnya. Sibuk mengurus harta dan lupa kepada dunia. Takut miskin di dunia tetapi tidak takut papa di akhirat. Takut anaknya tidak bisa hidup didunia, tetapi tidak takut anaknya diakhirat akan menderita.

Selalu menangis mendengar nyanyian melow, tetapi biasa saja mendengar lantunan Ayat suci Al-quran. Ada apa... ? Apa mungkin itu tanda matinya hati.

 Teguran keras untukku dihari jumat. Teguran yang selalu berulang ditelinga untuk mengingatkan. Teguran yang manis tapi mengena. Teguran yang kadang kita lupa untuk mengingatnya, atau bahkan melupakannya.
Terima kasih atas hari Jumat ya Allah Swt, hari untuk mengoreksi diri yang lupa dan khilaf. Menilai diri yang lebih banyak cinta kepada dunia dan materi.

Wednesday, 9 January 2013

Sepenggal Kisah di Prevab


Dear my wife
Aku memang tidak sesempurna Saidina Ali  bin Abi Thalib dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak khilaf dan salah yang kadang membuatmu jengkel, tapi yang pasti
aku mencintaimu dengan tulus.

Mei 2002
Prevab Mentoko, Taman Nasional Kutai

Prevab, Mentoko TN. Kutai
“Ambilkan selimut, ambilkan selimut. Ada yang tenggelam” Ujar Firman. Segera saja kami sibuk mencari sesuatu untuk bisa dijadikan selimut. Entah sarung atau apapun yang dapat menghangatkan badan. Keadaan panik waktu itu mencekam, belum ada kabar tentang siapa saja yang selamat dari tragedi karamnya dua kapal ketinting. Wajah-wajah pucat jelas sekali dirona dan raut muka teman-teman.

“Siapkan air panas, buat teh ataupun kopi yang penting menghangatkan.” Pesan yang begitu jelas dalam ingatanku kala itu.

Senja yang begitu gelap, arus sungai yang sudah tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Belokan-belokan bagai mengular yang juga tak jelas ujungnya. Suara binatang malam mulai bernyanyi menyambut hening malam. Berteriak-teriak tiada henti membuat siapapun mendengar merasa takut.

Sungai sangata sudah sangat terkenal keangkerannya. Ya, buaya sangata. Sudah beberapa korban yang direngut ketika lapar tiba dan tidak ada makanan lain. Cerita ini yang selalu tergiang-giang dikepala kami. Ketakutan akan disantap buaya sebagai makan malam. Ditambah lagi beberapa teman tidak dapat berenang dan tidak memakai pelampung. Ini yang membuat kami panik bukan kepalang.

Nyanyian jangkrik merdu malam ini, menggantikan deru mesin yang selalu didengar dikota. Aroma bunga kenanga, seperti menghipnotis kemagisan hutan. Suara katak selalu menyahut dimana-mana. Entah apa yang mereka nyanyikan. Prevab begitu mencekam malam ini. Tempat ini sebagai pusat penelitian orang utan di Taman Nasional Kutai. Lokasi yang harus ditempuh dengan kapal motor tempel selama 15-30 menit tergantung arus sungai.

Dari kegelapan, tiba-tiba muncul beberapa orang yang saya kenali. “Itu mereka datang, ujar salah seorang teman.” Langsung saja rentetan pertanyaan dicecar untuk menyelidik sebab karamya dua buah kapal, dan siapa yang menjadi korban.

“Alhamdulillah semuanya selamat, hanya barang bawaan basah semua.” Ternyata kapal yang ditumpangi bocor, sementara nakhoda kapal tidak tau. Tiba-tiba air sudah memenuhi kapal. Penumpang panik, kapalpun oleng, akhirnya tenggelamlah kapal. Sementara kapal kedua menabrak gundukan tanah yang ada dibelokan sungai. Malam gelap gulita dan tidak ada satupun penerangan membuat kejadian menjadi mencekam ketika karam.

Segera saja teh dan kopi hangat disantap dibungkus dengan sarung ataupun selimut yang kami sediakan. Semua begitu asyik bercerita kejadian yang baru dialami. Kamipun mendengar dengan teliti kejadian demi kejadian. Berharap mengambil hikmah.

Suasana cepat sekali berlalu, kejadian yang begitu dramatis tadi sudah dilupakan. Tawa muncul lagi menemani malam di Hutan Rimba. Saya lihat tiga orang membuka “lapak,” untuk meramal nasib masa depan. Entah benar atau tidak yang pasti semua menikmatinya. Ada yang memakai kartu remi, garis tangan dan jempol kaki. Aku juga tak mau kalah, kubuka juga lapak untuk meramal yang aku pelajari dari buku. Saya tak peduli kebenarannya, hanya menebak apa yang kartu muncul. Beberapa teman mengangguk-angguk saat dibacakan kartunya. Sayapun kadang menebak-nebak saja. Yang penting semuanya senang malam itu.

Diantara gelak tawa itu, kulihat wanita yang menarik perhatianku. Wajahnya tidak cantik, tetapi anggun. Bentuk muka tirus, tetapi berahang. Matanya jelas sekali terlihat dikejauhan, mungkin alis mata yang tebal dan hitam menambah ketajamannya. Rambutnya dikepang seperti ekor kuda. Wajahnya putih pualam, serta senyum yang merekah bak sekuntum bunga. Tubuhnya tegak seolah telah terlatih dengan jalannya yang tegap.

Sudah beberapa kali saya bertemu denganya, tetapi masih dapat dihitung dengan jari. Dia sosok yang santun dan lugu, bahkan terkesan lucu.

Rumah terbuat dari ulin (kayi besi) yang kami naungi hanya berwarna hitam saja yang terlihat dimalam hari. Penerangan dari solar sell, redup-redup menyinari aula pertemuan. Sarang laba-laba jelas terlihat disudut-sudut. Binatang malam, entah apa saja yang beterbangan menghinggapi lampu dan melintas.

Segera saja kuajak dia untuk mengobrol bersama teman-teman diujung jembatan. Papan tersusun rapi dan kokoh. Disampingnya terdapat kursi panjang untuk duduk bersama. Diantara rerimbunan pohon, gelak tawa menemani candaan kami. Cerita yang tidak jelas juntrungannya. Sungguh kenangan yang tidak terlupakan. Sekian lama bercakap, satu persatu teman-teman mulai mengantuk dan hilang dari pandangan.

Tinggal kami saja berdua. Disela-sela kehadiran kami, tampak rembulan yang sembunyi dibalik rerimbunan pohon-pohon tua. Sinarnya menembus kegelapan malam. Hanya biasnya yang kami terima, tetapi cukup menerangi. Kami mulai asyik bercerita apa saja yang anggap layak dicerita. Mulai dari hoby, teman, makanan dan sekolah. Kulihat dia begitu bersemangat bercerita, dengan raut muka yang berapi-api. Saya hanya tersenyum simpul melihat tingkahnya.  

Suara sungai merdu membelah malam, riaknya terlihat dikeremangan malam. Daun-daun bergoyang mengikuti perintah angin. Kelelawar beterbangan menembus gulita, seolah tak peduli dengan kehadiran kami.

Tak terasa merah jingga sudah menggantikan gelap gulita. Lolongan orangutan sudah terdengar menyambut pagi. Ayam hutan mulai bernyanyi ditemani kicauan burung. Pohon-pohon berwarna keemasan disinari matahari pagi. Kami tersadar bahwa asyik bercerita hingga pagi menjelang. Malam panjang diisi dengan bercerita seperti kawan lama yang lama tak bersua. Malam yang diisi dengan gelak tawa yang memecah keheningan malam. Sungguh sulit dilupakan, bercerita sepanjang malam diantara kelebatan hutan rimba. Ditemani suara alam, yang komposernya begitu Agung. Dalam remang malam disaksikan bintang dan bulan.


Sosok yang dahulu begitu menarik perhatian, sekarang sudah menjadi pendamping hidupku. Cerita yang diukir dengan tinta yang indah, sekarang diukir dengan tinta emas pernikahan.

Sayang, aku selalu mencintaimu, kemarin, hari ini dan nanti... Muahhhhhh.........

Tuesday, 8 January 2013

Hasan Albiruni anakku

Saat di Transtudio Bandung
Sudah satu tahun Hasan Albiruni (EL) telah dihadirkan kedunia.  Rasanya baru saja kemarin menemani istri yang meregang saat bersalin. Rasanya baru saja kemarin menikmati dirinya di kotak tv kecil yang berukuran 7 inci. Melihat denyut jantungnya, bergerak-gerak. Rasanya baru saja kemarin mendapat kabar bahwa istri mengandung.

Dalam kandungan, kami sudah mengganggap si El adalah anak yang kuat. Pada usia 2 bulan istri melakukan perjalanan ke Madiun untuk dinas. Hampir 20 jam perjalanan yang dilalui untuk sampai kesana. Dalam hati kecil saya semua akan baik-baik saja, Allah SWT pasti melindunginya. Teringat kejadian teman seminggu yang lalu, terpaksa harus di kuret karena keguguran prematur. Sungguh sedih rasanya jika mengalami hal demikian. Rasa syukur tak henti-hentinya terucap, lewat doa dan nafas kami.

Sudah satu tahun ini juga, tiap hari si El mengisi hari-hari kami. Kadang menggemaskan kadang juga menjengkelkan. Senyumannya yang begitu lugu selalu merontokkan amarah. 

Bulan 12 tahun lalu, kami sempat melaksanakan syukuran atas usia satu tahunnya. Kami hanya mengundang tetangga untuk makan bersama. Kebanyakan ibu-ibu, karena di si El banyak berinteraksi dengan ibu-ibu samping rumah. Ketika kami berdua bekerja bergantian ibu-ibu datang mengambilnya kerumah untuk bermain bersamanya. Si El cukup akrab dengan ibu-ibu. Jika bepergian lama dia masih ingat dengan ibu-ibu yang sering bersamanya. Kata ibu-ibu, si El murah senyum sehingga mereka menyukai jika menggendong.

Si El saat di Salma Sofa, Samarinda
Saat ini dia sudah mulai belajar berjalan. Walaupun jatuh bangun tetapi dia dengan usaha keras mencoba lagi. Bobot yang berat seusia dia, mungkin salah satu penyebab dia kesulitan berjalan.

Nafsu makan yang begitu tinggi kadang membuat kami kewalahan. Apa saja mau dimakannya, sampai makanan yang kami santappun dia memintanya. Sungguh sangat menggemaskan. Untungnya dia paling suka dengan buah. Pisang, mangga, semangka semua dilahapnya. Tak ada yang tersisa.

Satu tahun ini dia sudah melakukan perjalanan ke luar kota sebanyak tiga kali dengan pesawat. Dua kali ke Jakarta dan satu kali ke Tarakan. Jika ingat perjalanan pertama kali ke Jakarta, saat ia usia 3 bulan. Perjalanan ke dua ke Tarakan saat ia usia enam bulan dan terakhir baru saja ke Jakarta dan Bandung pada usia satu tahun.

Bagi kami tak ada kendala yang berarti ketika berjalan jauh denganya. Makan apa saja mau, jika perjalanan jauh kami sering memberinya buah, karena jika memasak pasti tidak mungkin. Saat ke Jakarta beberapa waktu lalu kami siapkan Super bubur, tetapi hanya buburnya sedangkan penyedap tidak kami berikan.
Yang membuat kewalahan menggendong. Bobot tubuh yang lumayan berat lama kelamaan jika digendong bisa buat pegal juga. Kami selalu berdoa dia selalu sehat dan berkembang yang normal. Itu saja harapan kami. Semoga nantinya dia menjadi anak yang sholeh dan cerdas. Cita-cita kami dia dapat bersekolah di pesantren dan semoga dimudahkan dalam belajar dan menghafal Al-quran.

Semoga dirimu selalu sehat ya nak dan panjang umur. Love U dari Abi dan Ummi