Bontang, Juli 2000
Kulemparkan ingatanku 13 tahun
yang lalu. Tergiang sekali Kuncup tenda telihat dikejauhan, Pasak yang kokoh
menghujamkan ketanah. Warna-warni
bendera panjit berhias disepanjang jalan. Rimbun pohon sengon yang sudah
berumur meneduhkan. Kicauan burung bernyanyi sepanjang hari, tanpa lelah
memberitahukan kehadirannya.
Suasana perkemahan riuh rendah
suara para penggalang. Tepuk pramuka membahana sepanjang hari. Saut sautan
warga perkemahan, membuat riang siapapun yang hadir dimasa itu. Gelak tawa riang
para bocah begitu syahdu seperti suara penghuni langit.
Jambore pesta para penggalang,
yang begitu ditunggu kedatangannya. Dia bagaikan hari raya yang sangat
diagungkan bahkan dipersiapkan ketika tiba. Baju seragam bak tentara yang akan
berperang dengan tanda-tanda perangnya. Tak lupa tongkat yang digengam erat
sebagai senjata.
Kumelihat sesosok berbalut baju
coklat dihiasi, dengan setangan leher.. Dia biasa saja, bahkan saat ini
terkesan aneh. Wajahnya tirus sedikit gelap dengan tahi lalat tepat berada
diujung hidung. Kain kerudung coklat muda, membalut kepalanya. Matanya dengan
bola mata hitam dan bulat. Tatapan tegas tapi meneduhkan, dihiasi kacamata
tebal yang tepat berada diatas hidung. Senyum yang lebar menampakkan susunan
gigi putih tersusun rapi. Dia berasal dari Vidatra. Sekolah yang dahulu
disegani sekolah manapun di Bontang. Mereka begitu jelas sekali jika berada
diantar tumpukan lainnya. Entah mengapa begitu jelas, apa memang mereka
menonjol atau saya yang selalu memperhatikan keberadaannya. Yang jelas mereka
sangat berbeda.
Pertemuan kami tepat di kran air. Selesai
makan, saya mulai mencuci piring yang saya gunakan. Dia nyeletuk bahwa dia
jarang sekali mencuci piring, langsung saja saya ledek “masak ngak pernah, Sini
saya ajari”. Ya begitulah pertemuan awal kami, tidak ada kesan yang mendalam hanya
kejadian lucu yang selalu memenuhi kepalaku.
Sore harinya, saya sempatkan
berkenalan dengannya. Jabat tangan erat saya ingat jelas waktu itu, mungkin
sekian menit. Saya sangat menikmati, menyebut nama dan bermain dengan jemari.
Permainannya jika saya tak salah ingat adalah mengalahkan jempol lawan. Saya
selalu menang. Sambil bermain kami mengobrol entah dimana ujungnya. Saya menikmati
pertemanan ini.
Saya cukup senang mengenalnya,
bola mata yang bulat dan senyum renyah selalu saja tersebar kemana-mana. Entah
memang begitu adanya atau karena suasana hati yang sedang riang. Setiap bertemu
dengannya seolah ada ikatan emosional, kami selalu akrab dalam segala hal. Saya
teringat betul ketika dia bernyanyi. Suaranya cukup cempreng dan selalu membuat
saya tertawa geli.
Siapa yang tak suka api unggun.
Api yang menjilati langit malam, panasnya menghangatkan sekitar. Kayu yang
dahulu kokoh berdiri, sekarang menjadi bara dan berakhir di abu. Nyanyian para
penggalang menghiasi gulitanya malam. Lekukan tubuh menari dengan gemulai
berdendang sepanjang api menari. Tepuk tangan yang selalu bertalu-talu. Sungguh
sulit untuk dilupakan.
Kami menyaksikan malam itu dengan
berkumpul, tawa yang bercampur dengan haru selalu saja berdampingan. Malam itu
adalah malam terakhir untuk berpisah dari perkemahan. Nyanyian yang saya ingat,
yang sering dllantunkan kami. Lagu slowrock malaysia menjadi pelipur hati
ketika berkumpul dan benyanyi entah dimana ujungnya, sampai kelelahan
menghinggapi.
Sebait berbunyi
“aku tak tau, mengapa aku rindu
Ingin ku curah, tetapi rasa malu”
Bolehkah engkau, mengerti isi hatiku
Di dalam dia aku mencintaimu”
Ku harap kau faham perasaanku”
Lagu itu saya ingat selalu,
karena dia sedang mengangumi sesosok penegak. Pramuka yang saat ini hanya dalam memoryku,
entah siapa namanya dan dimana dia berada. Sehingga lagu ini, alat penyampai
pesan yang lirih untuknya, bahwa betapa dia menganguminya. (hehehe)
Malam bertabur bintang, mungkin
jutaan atau triliunan yang memandang kearah perkemahan. Kerlap-kerlipnya
menggoda siapapun melihat. Tak ada kata yang dapat diucapkan selain, keindahan
luar biasa dimalam itu. Awan tipis seolah enggan menampakkan kepulan putihnya
diantara bintang. Angin berlalu, berbisik lagu alam.
Hari terakhir telah tiba. Tenda-tenda
yang kokoh berdiri dirobohkan, dilipat dan dimasukkan kedalam sarungnya. bendera-bendara
panji telah diturunkan. Ransel-ransel bertumpuk tak tau tuannya berjajar rapi. Suara
toa menggema memangggil-manggil peserta untuk berkumpul.
Penggalang berjajar rapi diatara
rimbunan pohon, menunggu instruksi untuk pulang keperaduan. Wajah-wajah lelah
bercampur gembira. Seragam sudah lusuh karena keringat yang belum dicuci. Aroma
tubuh sudah bercampur aduk diantara barisan. Entah bau apa, tetapi hidung sudah
menyesuaikan aromanya.
Saya dan dia akan berpisah. Pertemuan
yang begitu cepat dan berakhir. Pertemuan yang begitu akrab membuat kesan yang
mendalam akan arti sahabat. Kami tak lupa menuliskan nama kami dipohon sengon. Terukir
jelas nama kami untuk mengenang. Beberapa tahun yang lalu saya sempat mengunjungi pohon itu. Sudah tampak
tidak jelas ukirannya, tetapi masih teraba dan pohonnya masih kokoh berdiri.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment