Tuesday, 8 January 2013

Yūjin

Bontang, Juli 2000

Kulemparkan ingatanku 13 tahun yang lalu. Tergiang sekali Kuncup tenda telihat dikejauhan, Pasak yang kokoh menghujamkan ketanah.  Warna-warni bendera panjit berhias disepanjang jalan. Rimbun pohon sengon yang sudah berumur meneduhkan. Kicauan burung bernyanyi sepanjang hari, tanpa lelah memberitahukan kehadirannya.

Suasana perkemahan riuh rendah suara para penggalang. Tepuk pramuka membahana sepanjang hari. Saut sautan warga perkemahan, membuat riang siapapun yang hadir dimasa itu. Gelak tawa riang para bocah begitu syahdu seperti suara penghuni langit.

Jambore pesta para penggalang, yang begitu ditunggu kedatangannya. Dia bagaikan hari raya yang sangat diagungkan bahkan dipersiapkan ketika tiba. Baju seragam bak tentara yang akan berperang dengan tanda-tanda perangnya. Tak lupa tongkat yang digengam erat sebagai senjata.

Kumelihat sesosok berbalut baju coklat dihiasi, dengan setangan leher.. Dia biasa saja, bahkan saat ini terkesan aneh. Wajahnya tirus sedikit gelap dengan tahi lalat tepat berada diujung hidung. Kain kerudung coklat muda, membalut kepalanya. Matanya dengan bola mata hitam dan bulat. Tatapan tegas tapi meneduhkan, dihiasi kacamata tebal yang tepat berada diatas hidung. Senyum yang lebar menampakkan susunan gigi putih tersusun rapi. Dia berasal dari Vidatra. Sekolah yang dahulu disegani sekolah manapun di Bontang. Mereka begitu jelas sekali jika berada diantar tumpukan lainnya. Entah mengapa begitu jelas, apa memang mereka menonjol atau saya yang selalu memperhatikan keberadaannya. Yang jelas mereka sangat berbeda.  

Pertemuan kami tepat di kran air. Selesai makan, saya mulai mencuci piring yang saya gunakan. Dia nyeletuk bahwa dia jarang sekali mencuci piring, langsung saja saya ledek “masak ngak pernah, Sini saya ajari”. Ya begitulah pertemuan awal kami, tidak ada kesan yang mendalam hanya kejadian lucu yang selalu memenuhi kepalaku.

Sore harinya, saya sempatkan berkenalan dengannya. Jabat tangan erat saya ingat jelas waktu itu, mungkin sekian menit. Saya sangat menikmati, menyebut nama dan bermain dengan jemari. Permainannya jika saya tak salah ingat adalah mengalahkan jempol lawan. Saya selalu menang. Sambil bermain kami mengobrol entah dimana ujungnya. Saya menikmati pertemanan ini.

Saya cukup senang mengenalnya, bola mata yang bulat dan senyum renyah selalu saja tersebar kemana-mana. Entah memang begitu adanya atau karena suasana hati yang sedang riang. Setiap bertemu dengannya seolah ada ikatan emosional, kami selalu akrab dalam segala hal. Saya teringat betul ketika dia bernyanyi. Suaranya cukup cempreng dan selalu membuat saya tertawa geli.

Siapa yang tak suka api unggun. Api yang menjilati langit malam, panasnya menghangatkan sekitar. Kayu yang dahulu kokoh berdiri, sekarang menjadi bara dan berakhir di abu. Nyanyian para penggalang menghiasi gulitanya malam. Lekukan tubuh menari dengan gemulai berdendang sepanjang api menari. Tepuk tangan yang selalu bertalu-talu. Sungguh sulit untuk dilupakan.

Kami menyaksikan malam itu dengan berkumpul, tawa yang bercampur dengan haru selalu saja berdampingan. Malam itu adalah malam terakhir untuk berpisah dari perkemahan. Nyanyian yang saya ingat, yang sering dllantunkan kami. Lagu slowrock malaysia menjadi pelipur hati ketika berkumpul dan benyanyi entah dimana ujungnya, sampai kelelahan menghinggapi.

Sebait berbunyi
“aku tak tau, mengapa aku rindu
Ingin ku curah, tetapi rasa malu”
Bolehkah engkau, mengerti isi hatiku
Di dalam dia aku mencintaimu”
Ku harap kau faham perasaanku”

Lagu itu saya ingat selalu, karena dia sedang mengangumi sesosok penegak.  Pramuka yang saat ini hanya dalam memoryku, entah siapa namanya dan dimana dia berada. Sehingga lagu ini, alat penyampai pesan yang lirih untuknya, bahwa betapa dia menganguminya. (hehehe)

Malam bertabur bintang, mungkin jutaan atau triliunan yang memandang kearah perkemahan. Kerlap-kerlipnya menggoda siapapun melihat. Tak ada kata yang dapat diucapkan selain, keindahan luar biasa dimalam itu. Awan tipis seolah enggan menampakkan kepulan putihnya diantara bintang. Angin berlalu, berbisik lagu alam.

Hari terakhir telah tiba. Tenda-tenda yang kokoh berdiri dirobohkan, dilipat dan dimasukkan kedalam sarungnya. bendera-bendara panji telah diturunkan. Ransel-ransel bertumpuk tak tau tuannya berjajar rapi. Suara toa menggema memangggil-manggil peserta untuk berkumpul.

Penggalang berjajar rapi diatara rimbunan pohon, menunggu instruksi untuk pulang keperaduan. Wajah-wajah lelah bercampur gembira. Seragam sudah lusuh karena keringat yang belum dicuci. Aroma tubuh sudah bercampur aduk diantara barisan. Entah bau apa, tetapi hidung sudah menyesuaikan aromanya.

Saya dan dia akan berpisah. Pertemuan yang begitu cepat dan berakhir. Pertemuan yang begitu akrab membuat kesan yang mendalam akan arti sahabat. Kami tak lupa menuliskan nama kami dipohon sengon. Terukir jelas nama kami untuk mengenang. Beberapa tahun yang lalu  saya sempat mengunjungi pohon itu. Sudah tampak tidak jelas ukirannya, tetapi masih teraba dan pohonnya masih kokoh berdiri.

(bersambung)

No comments: