Thursday, 3 April 2014

Mengajar Lewat Keterbatasan Akal

Mulutnya komat kamit, entah apa yang dibaca. Hafalkah ia bacaan sholat atau hanya menirukan yang orang lakukan. Ia berdiri disudut belakang sebelah kanan masjid memakai kaos oblong dan celana panjang. Ia tidak mau bergabung dengan jamaah lainnya.

Setiap sholat tiba, ia selalu tepat waktu berada di masjid. Saya lihat tidak ada yang aneh dengan dia. Sebelum memasuki masjid, ia sibuk membasuh anggota badannya untuk wudhu. Tak ada yang aneh, wajahnya putih tirus. Badanya kurus dan mempunyai tinggi 165an. Usianya mungkin baru menginjak kepala tiga.

Sampai saat ini saya tidak pernah berkomunikasi dengan dia. Entah saya takut atau enggan. Saya lihat dia juga tidak pernah bercakap-cakap atau bercanda dengan orang. Dia sibuk sendiri dengan dunianya.

Pernah suatu ketika, sebelum wudhu dia duduk disudut pekarangan masjid saya dengar ia berbicara. Tapi anehnya dia berbicara entah dengan siapa. Ia asyik saja berbicara dengan bahasa daerah. Seolah-olah ada yang diajaknya bicara. Sekali kali ia serius dan selebihnya tertawa. Entah siapa temannya.

Ketika azhan berkumandang, dia hampir jarang absen. Apalagi sholat magrib, ia membuat shafnya sendiri dibelakang makmum. Saya penasaran tetapi saya juga tak pernah menanyakan siapa, darimana, anak siapa dan mengapa dia begitu.

Lain lagi yang satunya. Perawakannya pendek dan hitam. Tingkahnya seperti anak kecil. Ia juga tidak pernah ketinggalan sholat magrib. Lengkap dengan peci dan baju koko serta membawa sajadah.

Wajahnya terbilang sangar, tetapi jika diajak mengobrol dia seperti anak kecil. Tingkahnya yang dianggap orang keterbelakangan mental, menjadikan dia bahan olokan anak kecil. Setiap kali selesai sholat, dia mengejar anak-anak yang mengolok-oloknya sampai ke luar masjid.

yang lucunya, dia punya sendiri tempat favorit juga. Tetapi tak jauh dari shaf jamaah. Ketika shaf jamaah penuh hinga 4-5 shaf, maka ia tergabung dalam shaf jamaah. Semua gerakan imam diikutinya.

Dua saudara seiman ini memberiku sedikit lecutan didada. Yang saya tau rukun sholat salah satunya adalah yang berakal. Sementara 2 saudara ini mengalami gangguan akal, tetapi mereka lebih rajin memakmurkan masjid dibanding saya.

Rasanya malu dengan mereka, sebelum azhan mereka sudah asyik mengambil air wudhu untuk sholat berjamaah. Sementara saya kadang masih asyik didepan TV atau sibuk dengan pekerjaan. Padahal mereka tidak dibebankan kewajiban sholat. Sementara saya kadang tidak merasa berdosa meninggalkan sholat.

Saudaraku, entah dimana kesadaranmu. Ataukah engkau asyik menikmati duniamu. Yang pasti saya berdoa agar engkau cepat pulih dari kesadaranmu. Kehilangan akalmu tidak juga menghilangkan kehilangan imanmu. Engkau masih saja, khusuk dengan sholatmu. Engkau masih rajin melangkahkan kakimu menuju rumah Allah SWT.

Engkau mengajarkan tidak dengan ucap atau tutur katamu, tetapi dengan keadaanmu yang terbatas. Dengan ajakanmu seolah “mengolok” kami yang merasa normal. Ataukah engkau memang mengajarkan kami dengan keterbelakanganmu.


No comments: