Sunday 4 November 2012

Kelahiran Sang "Jenderal Kecil"


Kegembiraan yang kami rasakan, hampir tak terbendung. Linangan syukur selalu saja terucap dalam setiap alunan doa. Air matapun menetes, tak terasa. Rasa tak percaya, takut, gembira bercampur. Membuat pelangi indah dihati kami.
Bulan berganti bulan, setiap bulan kmai lalui dengan pemeriksaan rutin. 3 dokter kandungan kami datangi untuk mencari yang cocok. Mencari dokter memang bukan perkara mudah, karena kadang selalu saja kami tak puas dengan penjelasan. Akhirnya kami menemukan satu dokter yang cocok, dan menurut teman-teman dokter tersebut sangat kaya akan pengalaman.

USG hampir tak pernah kami lewatkan, teringat bulan kehamilan kedua. Istri saya meminta untuk dilakukan USG, dokter yang memeriksa hanya tersenyum dan mengatakan “Ibu, terlalu cepat USGnya.” Saya belum dapat memberikan informasi, jika kandunganya masih berusia muda.
Anjuran itu, tak membuat istriku surut. Ia mengatakan “Ngak papa dok, Cuma pengen liat aja.” Rasa haru begitu sesak dalam dadaku, ketika kulihat layar berukuran 7 inci. Layar yang berwarna hitam dengan hanya titik-titik putih. Dokter menjelaskan bahwa jantungnya telah berdetak. Hampir tak percaya istriku, dia hanya memandang saya dengan tersenyum haru. Kulihat butiran air mata sempat membasahi kelopak matanya. .
Oohh Tuhan, inikah karunia yang begitu dahsyat kau titipkan. Dalam kandungan istriku, satu sejarah telah terlukis. Kami harus menuangkan tinta dengan beragam warna, sehingga membentuk gambar yang sempurna dan indah. Yang kaya akan warna serta bentuk, sehingga sejarah akan tercetak indah.
Rasa syukur saya, tak hanya sampai disitu. Alhamdulllah istriku tidak mengalami “ngidam”, atau bahasa kerennya Morning sick. Sehingga aktifitas bekerja tidak terganggu. Kulihat dengan bertambahnya, usia kandungannya, ia semakin sulit untuk berdiri maupun berjalan.
Setiap malam tiba, ia tak bisa tidur karena selalu kepanasan. Hanya kipas angin saja yang kami punya waktu itu. Tidurpun selalu susah mencari posisi yang enak. Perut yang semakin membesar membuat saya selalu iba melihatnya.
Pada masa kehamilan, istriku sangat rajin mengkonsumsi berbagai suplemen terutama kalsium, habattussauda dan sari kurma. Amalan rutin ini membuat ia sehat dalam beraktifitas, sehingga badannya selalu tampak segar.
Dibalik ibaku, tak kudapatkan sedikitpun ia mengeluh, mungkin kegembiraannya melebihi dari sengsara yang ia rasakan. Menjadi ibu adalah impiannya, untuk melengkapi kodrat sebagai wanita. Sungguh mulia memang. Perempuan dengan segala  keterbatasan, diberikan kekuatan yang melebihi gunung.
Jarak kantor istri saya bekerja cukup jauh, jika dihitung dapat ditempuh 30 menit dengan jarak 25 km, arah selatan Kota Bontang. Sebenarnya dapat ditempuh dengan cepat, jika melewati jalan perusahaan PT.Badak, tetapi karena bukan jalan umum. Akhirnya saya harus memutar lewat jalan ke utara dulu, baru menuju ke selatan yaitu Kelurahan Bontang Lestari.
Untungnya saat pulang, istri saya dapat menumpang pada teman kantor yang membawa mobil. Untuk dapat diturunkan di depan Supermarket yang cepat saya jangkau. Sungguh “petualangan” yang mengasikkan menikmati hari-hari menunggu.
Memasuki usia sembilan bulan, saya selalu deg-degan. Dalam hati saya selalu bertanya, apakah saya dapat melalui proses persalinan istri ?. ketakutan yang saya rasakan juga dialami oleh istri, dan ternyata lebih besar dari yang saya rasakan.
Dia selalu mengatakan “saya takut, apakah saya mampu menghadapi proses persalinan.” Walaupun juga sebenarnya takut saya menguatkan dengan mengatakan “Jika orang lain saja bisa melewatinya, InsyaAllah kitapun bisa.” Serta saya ingatkan juga untuk berdoa selalu.
Tepat 5 hari sebelum hari kelahiran prediksi dokter, saya harus tugas ke samarinda. Saya meminta ijin kepada istri, karena tugas kantor saya harus meninggalkan selama 2 hari. Kulihat ia was-was sekali ketika pesan itu saya sampaikan. Dengan wajah yang sedikit masam, iapun mengijinkan. Agar dia merasa aman, kuputuskan untuk mengantar kerumah orangtuanya.
Setelah saya disamarinda,tiba-tiba telepon berdering “sayang, saya ada bercak darah.” Saya panik ketika itu,apakah sudah akan melahirkan pikir saya. Lalu saya menghubungi teman yang berprofesi sebagai bidan untuk menanyakannya. Ia lalu menjawab, memang begitu jika akan melahirkan tunggu saja, ketika merasakan sakit yang rutin. Apalagi bertambah sakit, baru dibawa ke rumah sakit.
Dua hari kulewati tugas kantor dan cepat saja pulang Bontang. Kulihat istriku berwajah tegang, mungkin takut menghadapi persalinnya. 2 hari dirumah, belum juga ada tanda-tanda sakit yang rutin. Sedangkan was-was selalu saja terlintas, sehingga tidurpun tak nyenyak makan tak enak.
Tepat jam sembilan malam, tiba-tiba istriku mengeluh “aduh, sakit.” Pikir saya harus dibawa ke dokter. Tetapi ingat saran teman saya, jika sakitnya rutin dan bertambah baru dibawa. Jika masih masih biasa, kemungkinan disuruh pulang.
Kontraksi pada waktu itu, setiap setengah jam. Sampai pada pukul dua belas, istri saya mengatakan sakitnya sudah tak bisa ditahan. Saya memutuskan langsung menelepon mobil bersalin, untuk dapat segera datang. Segala sesuatu sudah saya siapkan, mulai dari baju, alat mandi, pakaian bayi dan buku kontrol kehamilan. Selang 15 menit mobil yang ditunggu tiba, langsung saja kami naik.
Setibanya dirumah sakit, dia lalu diperiksa. Dan dokter mengatakan “ini, baru bukaan dua bu.” Istri saya mengatakan bukaan dua aja sudah sakitnya seperti ini. Saya lalu berucap “kita pasti bisa melaluinya.”
Setiap dua jam sekali, pemeriksaan dilakukan tetapi, sampai pada pukul delapan pagi masih saja bukaannya dua. Sayapun berinisiatif mengajar istri untuk berjalan-jalan. Dengan memegang perut dia berjalan dengan tergopoh-gopoh dan kesakitan. Selalu saja saya semangati dengan bahwa semua orang bisa melewati kitapun bisa.
Tepat jam 12 siang pemeriksaan dilakukan lagi, saya langsung bertanya kepada bidan yang memeriksa.  Dia mengatakan sudah bukaan ketiga. Saya lihat istri saya selalu merintih kesakitan. Kasian melihatnya, tetapi semua memang harus dijalani. Tak henti-hentinya doa terucap untuk keselamatan dan keberhasilan persalinan ini.
Akhirnya tepat pukul tiga sore, dia sudah tak tahan dan ingin buang air besar katanya. Sebelum saya antar ke kamar kecil, saya bertanya dulu kepada bidan. Bidan berkata “itu bukan ingin buang air besar, mungkin sudah waktunya.” Dengan sigap bidan memeriksa, dilihat air sudah membasahi sarung yang dipakainya. Saya pikir mungkin ketubannya sudah pecah. Bidan mengatakan untuk dibawa langsung menuju ranjang bersalin.
Istri saya masih saja meminta mengantarnya ke kamar kecil. Saya lalu bilang sabar ya, dan mengatakan sakit yang sangat sakit. “uda, sakit. Ading sudah tidak tahan” ujarnya. “sabar sayang, harus kuat ya, nanti kita lihat dedenya.” Ucapku.
Kuseka keringat yang ada diwajahnya, kulihat dia sudah pucat putih karena tidak tidur semalaman. Saya takut dia tidak ada tenaga waktu proses bersalin. Selalu saja kuberi air putih untuk minum, sebagai asupan tenaga.
Tak lama datanglah lima bidan, untuk membantu persalinan. Dua bidan berada di kepala dan tiga bidan berada di bawah. Dilihatnya bukaan sudah lengkap ini, ibu bisa “ngeden,” Istri saya lalu mencoba untuk “ngeden,” tetapi sulit sekali. Bidan mengatakan “ibu, ngedennya jangan sampai dileher saja. Ayo ibu bayinya sudah keliahatan.”
Istri sayapun mencoba lagi, tetapi tidak berhasil. Keringat sebesar biji jagung keluar deras dipelipis dahinya. “oh tuhan, tolonglah hambamu yang lemah ini. Kuatkan istriku ya Allah SWT.” Tiba terdengan suara muntah dari dia, semua makanan keluar dari mulutnya. Suasana cemaspun menghantui, apakah bisa dia melewatinya. Segera saja kuberikan minuman “ayo sayang, minum dulu biar kuat.”
Sudah lebih 50 menitan terus dicoba tetapi selalu gagal, saya lihat tenaganya sudah mulai habis. Saya salut kepada bidan yang menolong, mereka selalu menyemangati istri saya. “Ayo ibu, ibu pasti bisa. Coba lagi ngeden, kasian bayinya bu.” Sayapun lihat isti mengeden dengan sisa tenaga. Ngedenya cukup lama, mungkin sekitar beberapa detik.
Tidak sia-sia, kepala sudah keluar. “Ayo sayang, coba lagi” pintaku. Diapun melanjutkan ngedennya akhirnya dengan suara yang memecah ruangan, anak kami pertama keluar. “Alhamdulillah, akhirnya dia menghirup udara dibumi.”
Kukecup kening istriku, kulihat dia tersenyum pucat. Kulihat bidan lalu mengambil dan memotong ari-arinya. Bayi dibersihkan dengan hanya mengelap dan menyelimutinya.
“Akhirnya kami punya keturunan yang melanjutkan doa-doa, kami terhadapmu ya Allah” ujarku dalam hati.
Sungguh pengalaman yang tak bisa saya lupakan, begitu besar perjuangan dia. Dia harus meregang nyawa untuk mengantarkan manusia ke bumi ini. Sungguh benar, bahwa surga itu dibawah telapak kaki ibu. Semoga kejadian ini membawa kita lebih taat kepada Allah SWT, bahwa kita tidak mampu berbuat apa-apa tanpa bantuanNYA.
Terima kasih istriku.... I Love U muahhh..... 

3 comments:

Sayi said...

aku juga ingin rasanya mempunyai pengalaman seperti ini...
terlalu indah bagiku mungkin, jadi belum Dia berikan padaku..

kurniawan said...

sabar aii mbak... samping kantorku aja ada lulusan mesir yang juga imam besar di sini, hampir sepuluh tahun baru dapat momongan. katanya seluruh doa sudah disampaikan.. pokoknya semua doa.. ehh akhirnya dia dapet jg. selama masih umur masih ada, semua pasti bisa terjadi...

semoga dimudahkan segala urusan dan diijaba semua doa... aminnnn

Sayi said...

Amin ya rabb...
eniwei, aku udah 13 tahun hampir menjelang 14 tahun belum dapet :)
bersyukurlah kau dan temanmu itu.. karena karunia ini tidak semudah membalikkan telapak tangan memilikinya...terutama bagiku..
semoga diberikan kesehatan si dedek..