Pagi itu, kuderu kencang sepeda
motorku, menuju kampung tua di Kota Bontang. Guntung namanya, kampung yang
dihuni oleh penduduk asli Bontang. Menurut riwayat, asal penduduk berasal dari
Kutai yang berada di Tenggarong.
Jika tak tahu Kota Bontang. Kota
ini terletak di Kalimantan Timur, jaraknya 220 Km dari Kota Balikpapan dan 110
Km dari Kota Samarinda. Kota yang perpenduduk kurang dari 200 ribu jiwa ini,
adalah kota industri. Teman sering mengatakan bahwa Bontang, mirip seperti Kota
Manchester di Inggris. Tidak punya banyak sumber daya tetapi bisa makmur.
Perusahaan yang ada skala dunia seperti PT.Badak NGL, PT. Pupuk Kaltim dan
banyak perusahaan kecil yang ada.
Guntung memang terlihat tua,
ditandai dengan rumah-rumah model lawas. Juga gang yang sempit dan rumah
berjajar berhimpit-himpit. Seperti perkampungan yang sudah sesak dengan
manusianya. Kondisi ini bukan berarti Kampung Guntung sempit akan lahan. Lahan
perkebunan yang cukup luas dapat kita temui di
ujung kampung.
Isi kebun adalah buah-buahan
musiman. Buah yang saya sangat sukai dari kampung ini adalah Wangi. Namanya
unik memang, buahnya seperti mangga. Dagingnya berwarna putih dan baunya juga
sangat khas. Rasanya yang manis dan sangat eksotis. Buah musiman ini biasa
dijual Rp.10.000 per 3 buah. Cara menjajakannyapun cukup unik, dengan cara
ditusuk dengan menggunakan bambu yang sudah diraut. Sehingga seperti telur
maulid nabi. Buah wangi sudah cukup langka, dahulu sangat mudah di temui di
Bontang. Saat ini, jika ingin mencicipi, harus mencari di Kampung Guntung.
Tujuan saya ke guntung untuk
menanam mangrove. Saya beserta dengan 40 orang masyarkat Guntung. Program
menanam 20.000 bibit mangrove, aksi ini diprakarsai oleh PT. Pupuk Kaltim yang
bekerjasama dengan Yayasan BIKAL tempat saya bekerja.
Lokasi penanaman di Pulau
Kedindingan, jika diukur saya juga tidak tau pasti berapa jaraknya dari
Guntung. jika menuju Kedindingan harus menggunakan kapal motor selama 1 – 1 ½
jam.
Pagi itu tepat pukul 07.15 WITA saya tiba di
Dermaga Guntung. Saya lihat, ibu-ibu dan bapak-bapak sudah berkumpul. Dengan
memakai topi daur ulang sampah plastik dan berseragam hitam merah. Tidak lupa
memakai sepatu yang disebut “Blabak.” Sepatu mirip sepatu sepak bola tetapi bahannya
dari karet. Dengan kaos kaki hitam yang
panjangnya hampir sampai ke lutut. Saya melihat kelompok menanam ini persis sekali
dengan kesebelasan sepak bola yang akan bertanding.
Ketika semua sudah berkumpul, dan nasi bungkus
untuk dimakan siang hari telah datang. Satu persatu orang naik ke atas perahu
dan mengambil posisi yang nyaman. Perahu berjumlah 3 buah untuk mengangkut
semua peserta penanaman.
Gelak tawa selalu terdengar, mayoritas ibu-ibu
rumah tangga yang ikut. Sehingga cerita-cerita lucu selalu saja dilontarkan,
baik itu yang berbau humor maupun apapun yang dianggap lucu.
Saya menaiki perahu yang
ukurannya kecil, hanya muat 5-6 orang.
Ibu-ibu tidak mau menaiki kapal ini, karena takut ombak yang besar.
Kapal kecil ini berguna apabila air sedang surut, dan jangkauannya bisa jauh
dibanding kapal ukuran besar.
Setelah semua naik keatas kapal,
kapal motor dipacu menuju ke pulau kedindingan. Untuk menuju ke sana, dari
guntung haruslah melewati sungai kecil dan tiba dimuara. Kami susuri sungai
kecil, disamping kanan dan kiri, terlihat bekas tambak yang sudah tidak
terpakai lagi entah karena bangkrut atau apapun saya tidak tahu jelas.
Tiba-tiba saya melihat buaya, dengan ukuran
2,5 meter sedang berjemur. Saya kaget bukan kepalang. Cerita tentang buaya
memang cukup populer di guntung, bahkan orang yang digigit buaya sering
terjadi. Menurut penuturan warga guntung yang ikut dalam penanaman, hal
tersebut sudah biasa bahkan buaya bisa sampai dibelakang rumah warga untuk
berjemur.
Ketika saya terperangah, sayapun
tak ingat untuk mendokumentasikan. Setelah lewat baru saya teringat, akhirnya
kamera saya keluarkan dan memoto buaya. Kecewa karena hasilnya sangat buruk.
Kami juga melewati gugusan
mangrove yang begitu sangat rimbun. Pohon yang besar-besar, menjulang tinggi
membuat suasana sangat teduh ketika melewati sungai kecil ini. Jenis yang
mendominasi adalah jenis Rhizhopora sp. Tumbuhan yang bisa mencapai puluhan
meter tingginya ini, adalah jenis yang akan kami tanam juga di Pulau
Kedindingan. Tak lupa burung Kuntul perak selalu mengawasi kami dari kejauhan,
dengan warna putih yang mencolok direrimbunan mangrove. Suara burung dan
binatang lainnya yang riuh seolah melepas kepergian kami ke Pulau Kedindingan.
Sekitar 10 menit, kami tiba di
muara, terlihat jelas pabrik PT.Pupuk Kaltim. Saya lihat cerobong asap yang
menjulang keangkasa, dengan kilang-kilang raksasa. Pipa-pipa dengan ukuran
besar bersilang-silangan, terlihat seperti ulang yang melilit-lilit. Tak lupa
konveyor yang menjulang tinggi, dibawahnya terlihat kapal ukuran raksasa
bersandar di dermaga. Sungguh pabrik yang sangat besar. Pabrik ini memproduksi
pupuk yang dipakai petani di Indonesia, hampir seluruh indonesia pemasarannya.
Kami beruntung pagi ini, ombak
yang tenang selama perjalanan, sehingga saya sangat menikmati suasana laut.
Yang membuat sedikit agak kesal, belat yang lokasi penempatannya tidak
beraturan. Sehingga kapal yang saya tumpangi, harus selalu awas dan memutar
untuk bisa sampai. untuk sampai ke Pulau Kedindingan kami harus membutuhkan
waktu 2 jam. Biasanya dapat ditempuh 1 ½ jam.
Pulau kedindingan adalah pulau
yang tidak berpenghuni. Luas sekitar 40 ha, ditumbuhi oleh mangrove. Hampir
semua daratan yang ada, digenangi air. Surut terendahnya sampai pada mata kaki.
Mungkin kondisi seperti ini tidak ada yang berminat untuk tinggal di pulau ini.
Pulau kedindingan ditetapkan
sebagai Kawasan Konservasi daerah, selain melindungi mangrove disini juga
terdapat terumbu karang yang cukup baik. Yang menyukai diving dan snorkling
dapat memuaskan diri disini. Terumbu karang yang cantik, kita dapat bentah
didalam air untuk menikmatinya. Pulau ini berada persis di depan Pulau Beras
Basah. Jadi jika mengunjungi Pulau Beras Basah, dapat juga langsung menuju ke
pulau ini.
Pertama kalinya saya menginjakkan
kaki di pulau ini. Saya lihat anakan mangrove begitu indah berjajar rapi.
Menurut informasi anakan tersebut, hasil dari rehabilitasi Pemerintah Kota
Bontang melalui Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian.
Peserta menanam langsung menuju
lokasi penanaman, luasnya hanya 2 ha saja. Bibit mangrove sudah tersedia
disekitar penanaman. Bibit didatangkan dari persemaian di Bontang Lestari. Ada dua
kelompok yang memasok yaitu kelompok attirara dan Kelompok Bunga Laut. Jumlah
bibit yang dipasok berjumlah 16.000 bibit. Sisanya sebanyak 4.000 bibit dipasok
dari kelompok lain.
Suasana penanaman begitu riuh, suara
candaan ibu-ibu membuat penanaman berlangsung mengasyikkan. Jumlah 40 orang
dibuat grup yang terdiri dari 5 orang, jadi jumlah 8 grup. Tiap grup diberikan
target menanam 2.500 bibit mangrove.
Segera saja, tiap grup ini,
mengambil lahan yang telah disediakan. Tanpa pikir panjang semua beraksi. Tugal
sebuah kayu yang cukup besar digunakan untuk menggali lubang ditancapkan,
dengan sigap anggota grup yang lain mengisinya dengan bibit mangrove.
Jarak yang ditentukan 1 m x 1 m,
sehingga lebih mudah menanamnya. Agar tanaman berjajar lurus, dapat menggunakan
tali rapiah, yang dibentang. Satu target 500 pohon ada yang terpenuhi di
beberapa grup, tetapi ada juga yang tidak terpenuhi. Bagi yang tidak terpenuhi,
esok harus bekerja dengan ekstra lagi, karena harus mengejar target yang
tertinggal.
Panasnya udara laut, tak
meleburkan semangat menanam. Saya liat seolah sedang bertamasya. Sayapun asyik
dengan mengambil foto kegiatan menanam. Ada yang berpose ketika bidikan kamera,
menuju grup yang sedang menanam.
Menurut masyarakat yang mengikuti
penanaman Bu Anna, cukup sulit memang menanam bakau. “Sudah menanam
panas-panas, belum tentu akan tumbuh. Tapi jika menebang tidak cukup lima menit
kayu yang besar bisa mati.”
Sungguh testimoni yang menggugah,
ternyata masyarakat akan sadar jika sudah tau bahwa menanam itu sulit dan
merawat lebih sulit. Semoga pengalaman menanam memberikan pemahaman bagi
masyarakat Guntung untuk menjaga mangrove yang berada di kampung mereka. (NIA)
No comments:
Post a Comment