Wednesday, 9 January 2013

Sepenggal Kisah di Prevab


Dear my wife
Aku memang tidak sesempurna Saidina Ali  bin Abi Thalib dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Banyak khilaf dan salah yang kadang membuatmu jengkel, tapi yang pasti
aku mencintaimu dengan tulus.

Mei 2002
Prevab Mentoko, Taman Nasional Kutai

Prevab, Mentoko TN. Kutai
“Ambilkan selimut, ambilkan selimut. Ada yang tenggelam” Ujar Firman. Segera saja kami sibuk mencari sesuatu untuk bisa dijadikan selimut. Entah sarung atau apapun yang dapat menghangatkan badan. Keadaan panik waktu itu mencekam, belum ada kabar tentang siapa saja yang selamat dari tragedi karamnya dua kapal ketinting. Wajah-wajah pucat jelas sekali dirona dan raut muka teman-teman.

“Siapkan air panas, buat teh ataupun kopi yang penting menghangatkan.” Pesan yang begitu jelas dalam ingatanku kala itu.

Senja yang begitu gelap, arus sungai yang sudah tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Belokan-belokan bagai mengular yang juga tak jelas ujungnya. Suara binatang malam mulai bernyanyi menyambut hening malam. Berteriak-teriak tiada henti membuat siapapun mendengar merasa takut.

Sungai sangata sudah sangat terkenal keangkerannya. Ya, buaya sangata. Sudah beberapa korban yang direngut ketika lapar tiba dan tidak ada makanan lain. Cerita ini yang selalu tergiang-giang dikepala kami. Ketakutan akan disantap buaya sebagai makan malam. Ditambah lagi beberapa teman tidak dapat berenang dan tidak memakai pelampung. Ini yang membuat kami panik bukan kepalang.

Nyanyian jangkrik merdu malam ini, menggantikan deru mesin yang selalu didengar dikota. Aroma bunga kenanga, seperti menghipnotis kemagisan hutan. Suara katak selalu menyahut dimana-mana. Entah apa yang mereka nyanyikan. Prevab begitu mencekam malam ini. Tempat ini sebagai pusat penelitian orang utan di Taman Nasional Kutai. Lokasi yang harus ditempuh dengan kapal motor tempel selama 15-30 menit tergantung arus sungai.

Dari kegelapan, tiba-tiba muncul beberapa orang yang saya kenali. “Itu mereka datang, ujar salah seorang teman.” Langsung saja rentetan pertanyaan dicecar untuk menyelidik sebab karamya dua buah kapal, dan siapa yang menjadi korban.

“Alhamdulillah semuanya selamat, hanya barang bawaan basah semua.” Ternyata kapal yang ditumpangi bocor, sementara nakhoda kapal tidak tau. Tiba-tiba air sudah memenuhi kapal. Penumpang panik, kapalpun oleng, akhirnya tenggelamlah kapal. Sementara kapal kedua menabrak gundukan tanah yang ada dibelokan sungai. Malam gelap gulita dan tidak ada satupun penerangan membuat kejadian menjadi mencekam ketika karam.

Segera saja teh dan kopi hangat disantap dibungkus dengan sarung ataupun selimut yang kami sediakan. Semua begitu asyik bercerita kejadian yang baru dialami. Kamipun mendengar dengan teliti kejadian demi kejadian. Berharap mengambil hikmah.

Suasana cepat sekali berlalu, kejadian yang begitu dramatis tadi sudah dilupakan. Tawa muncul lagi menemani malam di Hutan Rimba. Saya lihat tiga orang membuka “lapak,” untuk meramal nasib masa depan. Entah benar atau tidak yang pasti semua menikmatinya. Ada yang memakai kartu remi, garis tangan dan jempol kaki. Aku juga tak mau kalah, kubuka juga lapak untuk meramal yang aku pelajari dari buku. Saya tak peduli kebenarannya, hanya menebak apa yang kartu muncul. Beberapa teman mengangguk-angguk saat dibacakan kartunya. Sayapun kadang menebak-nebak saja. Yang penting semuanya senang malam itu.

Diantara gelak tawa itu, kulihat wanita yang menarik perhatianku. Wajahnya tidak cantik, tetapi anggun. Bentuk muka tirus, tetapi berahang. Matanya jelas sekali terlihat dikejauhan, mungkin alis mata yang tebal dan hitam menambah ketajamannya. Rambutnya dikepang seperti ekor kuda. Wajahnya putih pualam, serta senyum yang merekah bak sekuntum bunga. Tubuhnya tegak seolah telah terlatih dengan jalannya yang tegap.

Sudah beberapa kali saya bertemu denganya, tetapi masih dapat dihitung dengan jari. Dia sosok yang santun dan lugu, bahkan terkesan lucu.

Rumah terbuat dari ulin (kayi besi) yang kami naungi hanya berwarna hitam saja yang terlihat dimalam hari. Penerangan dari solar sell, redup-redup menyinari aula pertemuan. Sarang laba-laba jelas terlihat disudut-sudut. Binatang malam, entah apa saja yang beterbangan menghinggapi lampu dan melintas.

Segera saja kuajak dia untuk mengobrol bersama teman-teman diujung jembatan. Papan tersusun rapi dan kokoh. Disampingnya terdapat kursi panjang untuk duduk bersama. Diantara rerimbunan pohon, gelak tawa menemani candaan kami. Cerita yang tidak jelas juntrungannya. Sungguh kenangan yang tidak terlupakan. Sekian lama bercakap, satu persatu teman-teman mulai mengantuk dan hilang dari pandangan.

Tinggal kami saja berdua. Disela-sela kehadiran kami, tampak rembulan yang sembunyi dibalik rerimbunan pohon-pohon tua. Sinarnya menembus kegelapan malam. Hanya biasnya yang kami terima, tetapi cukup menerangi. Kami mulai asyik bercerita apa saja yang anggap layak dicerita. Mulai dari hoby, teman, makanan dan sekolah. Kulihat dia begitu bersemangat bercerita, dengan raut muka yang berapi-api. Saya hanya tersenyum simpul melihat tingkahnya.  

Suara sungai merdu membelah malam, riaknya terlihat dikeremangan malam. Daun-daun bergoyang mengikuti perintah angin. Kelelawar beterbangan menembus gulita, seolah tak peduli dengan kehadiran kami.

Tak terasa merah jingga sudah menggantikan gelap gulita. Lolongan orangutan sudah terdengar menyambut pagi. Ayam hutan mulai bernyanyi ditemani kicauan burung. Pohon-pohon berwarna keemasan disinari matahari pagi. Kami tersadar bahwa asyik bercerita hingga pagi menjelang. Malam panjang diisi dengan bercerita seperti kawan lama yang lama tak bersua. Malam yang diisi dengan gelak tawa yang memecah keheningan malam. Sungguh sulit dilupakan, bercerita sepanjang malam diantara kelebatan hutan rimba. Ditemani suara alam, yang komposernya begitu Agung. Dalam remang malam disaksikan bintang dan bulan.


Sosok yang dahulu begitu menarik perhatian, sekarang sudah menjadi pendamping hidupku. Cerita yang diukir dengan tinta yang indah, sekarang diukir dengan tinta emas pernikahan.

Sayang, aku selalu mencintaimu, kemarin, hari ini dan nanti... Muahhhhhh.........

2 comments:

BlogS of Hariyanto said...

indah kenangan masa pertemuan dulu...semoga tetap menjadi kenangan indah untuk menghasil kenangan indah selanjutnya bersama pasangan hidupnya...salam :)

kurniawan said...

aminn... makasih mas... salam