“Bangun jamal, sudah
jam 6 ini lekas kau mandi abis itu pake baju sekolahmu” ucap mamaku. Pagi ini
terasa sangat dingin, angin dari kolong rumah terasa kencang. Rumah saya berada
diatas laut, tingginya hampir 3 meter dari pasang terendah. Kayu ulin sebagai
peyangganya, kokoh walapupun sudah berumur belasan tahun.
Suara longlongan
bekantan, terdengar panjang menyambut fajar. Sinar mentari menerobos disela
dinding kamarku. Suara riak air laut terdengar jelas menghempas tiang rumah. Mataku
berat ketika membuka kelopak mata. Selimut sudah membungkus tidur lelapku. Rasanya
tak ingin bangun, tetapi panggilan mamak
membuyarkan alunan lelapku. Seragam kulihat tergantung rapi disamping pintu
kamarku. Aku lekas mandi di bilik belakang rumah. Suara “grur” membasahi tubuh
kurusku. Airnya terdengar keras ketika jatuh dikolong rumah.
Aku tinggal di
Bontang Kuala. Kampung tua yang dihuni mayoritas nelayan. Rumah-rumah terbuat
dari kayu ulin berjajar berhadap-hadapan. Yang semuanya berada diatas laut. Hutan
mangrove sangat elok menghiasi tepat diujung muara, berbaris dari utara hingga selatan. Burung bagau
Tongt-tong dan elang selalu beradu diudara, terbang dan berputar-putar.
Jika tak tau
Bontang Kuala, pastilah pernah mendengar Kota Bontang, daerah pengolah gas
terbesar di Kalimantan Timur, serta penghasil pupuk terbesar yang disalurkan kepetani
indonesia timur.
Suara ketinting
sudah terdengar sejak subuh, lalu lalang tepat dihadapan rumah. Kulihat bapakku
sedang asyik merakit bom ikan. Hampir satu
jam dia berkutat dengan bom tangan yang dibuatnya sendiri. Saya tak tau pasti
apa bahannya, tetapi kata bapak bom ini sangat ampuh. Banyak ikan akan mati
ketika meledak dan itulah saat panen bapak.
“Pak, masih
sajakah mengebom ikan, kan dilarang.” Ujarku. “Halah tau apa kau ini, mana bisa
kau makan kalau kita tak ngebom ikan,” timpal bapakku. Sudah sering saya
ingatkan bapak untuk jangan mengebom ikan lagi. Selain dilarang juga berbahaya.
“Mak, aku ndik
pergi sekolah lah dulu.” Kucium tangan mamak dan bapak. Walaupun kesal tetapi
aku tetap hormat pada mereka. Aku sering malu dengan teman-teman disekolah,
karena mereka tau aku adalah anak seorang pengebom ikan. Perasaan minder selalu
saja menghantui kepalaku. Pernah suatu ketika pelajaran IPA, guru menerangkan
bahwa mengebom ikan adalah tindakan yang dilarang karena merusak karang dan
membunuh ikan-ikan kecil. Akibat jangka panjangnya ikan akan sulit untuk
didapat.
Suara ramai riuh
dihalaman sekolah. Teman-teman berlarian kesana kemari. Penjaja makanan kulihat
sedang asyik menggoreng cirengnya. Anak-anak antri dan bergerombol didepan
gerobak, seperti mengantri sembako.
Asyik melamun
dikelas, tiba-tiba ada suara “Mal, ada orang dari rumahmu dikantor lekaslah kau
temui.” Ucap Pak Harun. “Siapa ya pak.” Jawabku. “Sepertinya pamanmu, tadi dia
bilang ada yang mau disampaikan.” Jawab Pak Harun. Lekas saja aku berlari
menuju kantor, kulihat Pak Inang sudah ada dikantor, dengan wajah kusut.
“Ada apa pak,
kenapa bapak kekantor?” tanyaku. “Bapakmu... Bapakmu...” suaranya lirih. “Ada
apa pak....” selidikku. “Bapakmu jamal...Bapakmu.... dia kecelakaan.” Jawabnya.
“Kenapa pak ?.”
tanyaku lagi. “Bapakmu kecelakaan waktu mengebom ikan, tangannya putus karena
bom yang akan dilempar meledak ditangannya.” Jawab Pak Inang.
“Bapakkkkkkkkkkkk.”
Aku terkejut. “Dia sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit, untungnya dia tidak
tewas.”
“Alhamdulillah...
bapak masih diberi umur panjang.” gumanku dalam hati.
Semoga bapak sadar, yang dia lakukan itu berbahaya. Selain merusak terumbu karang dilaut, juga
sangat berbahaya bagi dirinya. Hampir saja saya dan adik-adik menjadi yatim, untung Allah
masih memberi kesempatan.
“Ya Allah inikah
jawabanmu agar bapak berhenti mengebom ikan, semoga saja.”
No comments:
Post a Comment