Sunday 3 March 2013

Cerpen (belajar)-Bom ikan hampir merenggut bapakku


“Bangun jamal, sudah jam 6 ini lekas kau mandi abis itu pake baju sekolahmu” ucap mamaku. Pagi ini terasa sangat dingin, angin dari kolong rumah terasa kencang. Rumah saya berada diatas laut, tingginya hampir 3 meter dari pasang terendah. Kayu ulin sebagai peyangganya, kokoh walapupun sudah berumur belasan tahun.

Suara longlongan bekantan, terdengar panjang menyambut fajar. Sinar mentari menerobos disela dinding kamarku. Suara riak air laut terdengar jelas menghempas tiang rumah. Mataku berat ketika membuka kelopak mata. Selimut sudah membungkus tidur lelapku. Rasanya tak ingin bangun, tetapi panggilan mamak membuyarkan alunan lelapku. Seragam kulihat tergantung rapi disamping pintu kamarku. Aku lekas mandi di bilik belakang rumah. Suara “grur” membasahi tubuh kurusku. Airnya terdengar keras ketika jatuh dikolong rumah.

Aku tinggal di Bontang Kuala. Kampung tua yang dihuni mayoritas nelayan. Rumah-rumah terbuat dari kayu ulin berjajar berhadap-hadapan. Yang semuanya berada diatas laut. Hutan mangrove sangat elok menghiasi tepat diujung muara,  berbaris dari utara hingga selatan. Burung bagau Tongt-tong dan elang selalu beradu diudara, terbang dan berputar-putar.

Jika tak tau Bontang Kuala, pastilah pernah mendengar Kota Bontang, daerah pengolah gas terbesar di Kalimantan Timur, serta penghasil pupuk terbesar yang disalurkan kepetani indonesia timur.

Suara ketinting sudah terdengar sejak subuh, lalu lalang tepat dihadapan rumah. Kulihat bapakku sedang asyik merakit bom ikan. Hampir  satu jam dia berkutat dengan bom tangan yang dibuatnya sendiri. Saya tak tau pasti apa bahannya, tetapi kata bapak bom ini sangat ampuh. Banyak ikan akan mati ketika meledak dan itulah saat panen bapak.

“Pak, masih sajakah mengebom ikan, kan dilarang.” Ujarku. “Halah tau apa kau ini, mana bisa kau makan kalau kita tak ngebom ikan,” timpal bapakku. Sudah sering saya ingatkan bapak untuk jangan mengebom ikan lagi. Selain dilarang juga berbahaya.

“Mak, aku ndik pergi sekolah lah dulu.” Kucium tangan mamak dan bapak. Walaupun kesal tetapi aku tetap hormat pada mereka. Aku sering malu dengan teman-teman disekolah, karena mereka tau aku adalah anak seorang pengebom ikan. Perasaan minder selalu saja menghantui kepalaku. Pernah suatu ketika pelajaran IPA, guru menerangkan bahwa mengebom ikan adalah tindakan yang dilarang karena merusak karang dan membunuh ikan-ikan kecil. Akibat jangka panjangnya ikan akan sulit untuk didapat.

Suara ramai riuh dihalaman sekolah. Teman-teman berlarian kesana kemari. Penjaja makanan kulihat sedang asyik menggoreng cirengnya. Anak-anak antri dan bergerombol didepan gerobak, seperti mengantri sembako.

Asyik melamun dikelas, tiba-tiba ada suara “Mal, ada orang dari rumahmu dikantor lekaslah kau temui.” Ucap Pak Harun. “Siapa ya pak.” Jawabku. “Sepertinya pamanmu, tadi dia bilang ada yang mau disampaikan.” Jawab Pak Harun. Lekas saja aku berlari menuju kantor, kulihat Pak Inang sudah ada dikantor, dengan wajah kusut.

“Ada apa pak, kenapa bapak kekantor?” tanyaku. “Bapakmu... Bapakmu...” suaranya lirih. “Ada apa pak....” selidikku. “Bapakmu jamal...Bapakmu.... dia kecelakaan.” Jawabnya.

“Kenapa pak ?.” tanyaku lagi. “Bapakmu kecelakaan waktu mengebom ikan, tangannya putus karena bom yang akan dilempar meledak ditangannya.” Jawab Pak Inang.

“Bapakkkkkkkkkkkk.” Aku terkejut. “Dia sekarang sedang dirawat di Rumah Sakit, untungnya dia tidak tewas.”

“Alhamdulillah...  bapak masih diberi umur panjang.” gumanku dalam hati. Semoga bapak sadar, yang dia lakukan itu berbahaya.  Selain merusak terumbu karang dilaut, juga sangat berbahaya bagi dirinya. Hampir saja saya dan adik-adik menjadi yatim, untung Allah masih memberi kesempatan.

“Ya Allah inikah jawabanmu agar bapak berhenti mengebom ikan, semoga saja.”


No comments: