http://gunturhamonangan.blogspot.com/2013/04/petualangan-bromo.html |
Gunung
Bromo berada diatas 2392 meter permukaan laut. Membuat cuaca disini cukup
ekstrim dan tentunya dingin. Satu-satunya kawasan konservasi yang mempunyai kawasan pasir seluas 5.520 hektar. Perbukitan yang terjal disepanjang jalan ditumbuhi
dengan pohon cemara. Dipinggirnya tanaman pertanian warga tertata rapi mulai
dari wortel, daun bawang, kembang kol dan banyak lainnya.
Perjalanan
kami dari Batu menuju ke Bromo, dimulai pukul 3 siang. Sebelumnya makan di
Warung Bambu. Saya liat warung ini cukup ramai, dekorasinya hampir semua dari
bambu. Ditengah terdapat kolam ikan. Ukuran ikan didalam kolam rata-rata jumbo
dari ikan koi, nila sampe lele. Didepannya banyak tanda tangan dan foto artis
yang pernah berkunjung. Salah satu yang saya liat sepintas ada tanda tangan dan
foto istri Almarhum Sofyan Sopian. Untuk rasanya, lumayan lah. Kayaknya sih
masih enakan makanan di Bontang. Hehehe...
Mencoba
air ketika wudhu sholat dzuhur sangat dingin. Rasanya seperti air es. Airnya
berasal dari pegunungan. jadi airnya dibiarkan mengalir. “Coba di Bontang
airnya kayak gini.” Karena makan siang baru jam 2 siang, jadilah semua kelaparan. Semua hidangan disikat
tanpa pikir panjang. Pokoknya kenyang. Titik.
Pukul
3 sore, Bus sudah dideru menuju ke Bromo. Perjalanan seperti biasanya santai
dan asyik. Lagu pengantar tidur mengalun
tanpa henti. Semua saya liat sudah terlelap, mungkin sudah mimpi sampe di Bromo.
Dari
Batu menuju ke Bromo, banyak kota dan kabutaten yang dilewat. Saya ingat hanya
pasuruan, karena ingat “Si Goyang Ngebor” Mbak Inul.
Jam
7 malam, kami singgah sebentar untuk makan malam. Hidangan prasmanan sudah apik
dimeja makan. Menunya ayam bumbu, cap cay, lalapan, krupuk dan tak lupa sambal.
Makan malamnya kali ini kurang asyik, karena perut masih kenyang sehabis makan
di Warung Bambu.
Didepan
warung makan, sudah siap lapak penjual aksesoris ke Bromo. Yaitu syal, topi
kupluk dan kaos tangan. Penjualnya saya tebak pasti orang madura, ternyata
benar. Seorang kawan dari rombongan saya, mencoba menawar dengan bahasa madura
yang dikuasainya. Dari harga Rp.30.000 menjadi Rp.17.500 untuk semuanya. Karena
teman-teman belum mempersiapkan perlengkapan ke Bromo, langsung saja pada
borong. Saya juga membeli topi kupluk dan kaos tangan.
Selesai
makan kami melanjutkan perjalan lagi. Kurang lebih satu jam perjalanan. Bis
hanya sampai di terminal cemoro
lawang saja. Perjalanan ditempuh lagi dengan menggunakan
mobil berkapasitas 12 orang seperti L 300. Lama tempuh ke hotel tempat menginap
sekitar satu jam lagi. Kami tertawa geli ketika turun di terminal, ternyata
ditawari lagi syal, kupluk dan sarung tangan yang jauh lebih murah. Satu harganya
Rp. 10.000. hehehe..
Kami
menginap tepat berada di depan gerbang masuk ke Taman Nasional Bromo Tengger. Nama penginapannya Lava Hostel. Tarifnya
berkisar lima ratus ribuan. Sebenarnya banyak tempat penginapan disini. Jika
ingin hotel kelas menengah bertarif satu jutaan keatas. Atau ingin menyewa home
stay dari rumah penduduk untuk kapasitas sepuluh orang sekitar dua jutaan.
Tinggal pilih saja.
Jika
ingin ke Bromo dengan jalan ala backpacker juga dapat ditempuh dengan
mengendarai angkutan umum dari terminal Probolinggo. Cari saja jurusan bromo, tarifnya
Rp.25.000/orang. Cukup murah bukan.
Setibanya
di penginapan. Udara sudah menusuk tulang. Jika berbicara, mulut keluar asap.
Kata teman “Sangking dinginnya, yang tidak merokok saja bisa keluar asap.”
Semua pada sibuk mencari jaket, tapi saya lihat seorang kawan. Agus Punk santai
saja dengan memakai kaos. Saya tanya “Mas ngak kedinginan.” Jawabnya “Mas, ini
kedinginan sekali saya ngak bawa jaket.” Walahhh.... saya kira tahan dingin,
ternyata tidak membawa jaket.
Sesampainya
dikamar saya coba melepas sepatu, kaos kaki dan hanya bertelanjang kaki. Ketika
kaki menyentuh ubin, rasanya menginjak es batu. Segera saja saya mencari sandal
hotel, untung disediakan. Memasuki kamar mandi, kran saya buka untuk mencoba
airnya. Lagi-lagi air es yang keluar. ketika menyentuh air, tangan rasanya
membeku. Mencuci tangan saja dingin, apalagi mau mandi. Tapi Tak usah kawatir
jika ingin mandi sudah disiapkan penghangat air.
Jam tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh
malam saatnya istirahat. Jam 3 subuh harus bangun menuju ke Bromo. Saya satu
kamar dengan Andiga. Saya perhatikan semua perlengkapan ke gunung sudah
dipakainyam, dari jaket, syal, kupluk dan kaos tangan. Saya tanya “Mas, mau
kemana ?.” “Ini mau tidur.” Jawabnya.
Saya
mencoba untuk menahan dinginnya suhu di bromo. Saat tidur saya hanya memakai
kaos kaki saja. Selimut dikasur setidaknya dapat membantu menghangatkan tubuh
saat terlelap.
Pukul
tiga pagi semua telah bangun, semua
sudah siap tempur. Lagi-lagi mas agus punk yang hanya memakai jaket tipis dan
sandal jepit.
Dalam
rombongan kami, terdapat “Petualang” yang paling kecil. Usianya baru 4 bulan.
Hebat bukan. Namanya Altaf. Dia putra bungsu Pak Rendy. Walaupun usianya baru 4
bulan, tapi beratnya sudah 11 Kg. Waduhhh... berat yaaa.. saya liat dia sudah
didekap dengan bungkusan selimut yang tebal.
Tak
lupa narsis dulu didepan kamera, sambil menunggu mobil Hardtop. Lebih satu jam
kami menunggu mobil angkutan ke Bromo. seharusnya jam 3 sudah ada 6 mobil yang
stand by didepan hotel, tapi 2 mobil belum datang. Katanya sih macet pada saat
naik. Karena terlambat satu jam kami tidak bisa ke penjakan 1, jadi hanya ke
panjakan 2 saja. Jika dipaksakan ke Penanjakan 1 bisa terhambat macet dijalan
dan tidak bisa melihat sunrice.
Pukul
4 lewat, mobil sudah lengkap. Saya menaiki mobil Hardtop berwarna pink bernomor
49, yang diisi 6 orang. Lucu juga mobil garang seperti ini warnanya pink. Di
Bromo terdapat lebih dari 250 mobil hardtop yang tiap hari lalu lalang
mengantar wisatawan. jika waktu-waktu ramai mobil bisa dua kali naik turun
untuk mengantar wisatawan.
Sebelum
ke penanjakan 2, kami singgah dulu di penanjakan 3 untuk menunggu sunrice.
Setelah sampai di penanjakan 3, perut sudah keroncongan. Jangan kawatir, ini
Indonesia Bung.. Dimana-mana ada penjual makanan. Kopi panas dan pop mie bisa
dinikmati ditengah dinginnya bromo. sebelum kami datang, dipenjakan 3 sudah
banyak orang berkumpul. Bahkan ada yang berkemah.
Pukul
lima lewat, seberkas warna orange sudah terlihat di ufuk barat. Dihalangi sedikit
awan tipis. Tampak mentari malu-malu untuk muncul. Semua sibuk mengabadikan
dengan kamera yang dibawa. Begitu juga kami.
Setelah
alam tampak terang, sebelah timur terlihat gugusan gunung termasuk Gunung
Bromo. Dibawahnya kabut tebal menutupi lautan pasir, tepat seperti diatas awan.
Keindahannya sungguh tak tertandingi. Hanya terlihat sinar lampu mobil yang
menuju ke Bromo, diantara kabut.
Keindahan
yang tiada tara ini, kami abadikan dengan foto bersama. Semua anggota rombongan
berpose didepan lukisan alam ini. Tak lupa saya dan istri mengabadikan dengan
berfoto. Sungguh telah sampailah kami disini. Alhamdulillah..
Setelah
selesai sesi foto. Kami turun dari penjakan 3. Mobil pink bernomor 49 sudah
menunggu. Istri sudah buru-buru turun duluan, saya kejar dan tanya “Ada apa ?.”
“Saya pengen buang air, sudah tak tahan.” Ujarnya. Dua tempat yang ada
toiletnya tak ada yang buka sepagi ini. Untung yang ketiga ada yang buka.
Jadilah kami menunggu, sementara teman-teman yang lain sudah menuju lautan
pasir.
Tak
berapa lama kami menyusul ke lautan pasir. Sepanjang jalan kabut masih merajai
lautan pasir. Kuda-kuda berlarian diantara kabut. Seperti dalam film saja.
Setibanya kami dilautan pasir, puluhan mobil hardtop sudah parkir dengan apik.
Saya dan teman-teman turun.
Tiba-tiba
kami disodorkan secarik kertas bertuliskan nama. Tenyata ini adalah nama
pemilik kuda untuk kami tunggangi ke puncak bromo. Puluhan juga pemilik kuda
menawarkan jasanya untuk mengantar ke bromo, hingga terkesan memaksa. Tarifnya
Rp. 100.000 pulang pergi.
Saya
lalu menaiki kuda yang sudah dipegang kekangnya. “Ayo mas naik saja.” Kata si
empunya kuda. Saya lalu naik. La kok duduknya mau jatuh kesamping gini. Saya
mencoba belajar cepat duduk diatas kuda agar tidak jatuh. Saya ikuti ritme berjalan
dan kedua tangan memegang tali tepat didepan sadelnya. Kita akan menghadapi
tanjakan. Si empu mengatakan “Jika naik tanjakan, kaki kedepan dan badan agak
kebelakang.” Saya pikir mirip naik arung jeram sewaktu “Boomm.” Kalau ini
tanjakan.
Disepanjang
jalan, banyak juga turis asing dan domestik yang berjalan kaki. Cukup jauh
memang jika berjalan kaki. Apalagi tanjakan berpasir yang bisa buat kita
kesusahan menapak. Saya juga melihat
pura, ditengah lautan pasir yang digunakan jika ada upacara keagamanan hindu.
Setelah
sampai diperberentian, turun dari kuda kita dapat melihat banyak dijajakan
bunga edelweis berwarna-warni. Awalnya saya kira ini untuk dibawa pulang,
ternyata untuk dilarung di kawah bromo.
sewaktu pulang dari pinggir kawah turis jepang bilang “Kamu tidak
buang.” Saya bilang ‘Tidak saya mau bawa pulang.” Saya baru ngeh ketika sudah
pulang, tapi jika sudah tau juga saya pasti tidak akan larung. Wong itu namanya
Syirik kalo dalam Islam.
Untuk
sampai dipinggir kawah, kita harus melewati beberapa ratus anak tangga.
Sudutnya sekitar 60 derajat. Perlu tenaga ekstra untuk naik keatas. Saya liat
sewaktu menaiki tangga, banyak yang beristrirahat dijalan untuk mengambil
nafas. Disepanjang tangga menuju keatas disiapkan selter untuk istirahat
sehingga tidak menggangu orang lewat.
Sesampainya
diatas. Sungguh indah. Perbukitan jelas terlihat. Guratan gunung terlihat
seperti terpahat sempurna. Kabut masih merajai dibawah. Kawahnya masih
mengeluarkan asap. Mengepul dan pekat sampai keatas. Angin berhembus menembus
kulit dan tulang. Wajah gembira diwajah pengunjung terlihat jelas, seperti anak
yang melihat mainnya.
Dikejauhan
terlihat orang-orang berbondong-bondong berjalan dan menaiki kuda. Seperti hendak berperang
dimedan laga. Sungguh lukisan yang sempurna dari yang Maha Kuasa. Teringat
bunyi ayat Al-quran ketika melihat keindahan ini “Nikmat tuhan manalagi yang
kau dustakan.”
Terima
kasih ya Allah ......
No comments:
Post a Comment