Saturday, 13 July 2013

Nikah Mut’ah

#Tanya Jawab Quraish Shihab

Banyak kadang bertanya-tanya, apa sih nikah mut'ah itu. Dan bagaimana pandangan dalam agama, tentu mendapatkan jawaban dari yang faham tentang Alquran membuat dahaga akan keingin tahuan cukup terpuaskan. karena tidak jarang, kasus ini sering kita dengar didalam masyarakat. 


Berikut saya ketik dari buku Tanya Jawab Quraish Shihab tentang Nikah Mut'ah.



Assalamuaikum Wr Wb, saya mohon penjelasan tentang nikah mut’ah. Apakah benar ada disebut dalam Alquran ?

Jawaban

Mut’ah dalam pengertian bahasa adalah kenikmatan, kesenangan dan kelezatan. Nikah mut’ah didefinisakan sebagai pernikahan dengan menetapkan batas waktu tertentu, sehari, sebulan atay beberapa saja yang disepakati calon suami istri. Apabila batas waktu tersebut berakhir, maka secara otomatis perceraian terjadi. Dan ketika itu, sang istri harus melewati masa iddah selama dua kali suci jika yang bersangkutan belum mengalami monopause, atau empat bulan sepuluh hari jika yang bersangkutan memasuki monopause.

Sedangkan bila suami meninggal sebelum masa pernikahan yang ditetapkan berakhir, maka masa tunggunya adalah empat bulan sepuluh hari bila ia tidak hamil dan sampai kelahiran bila ia hamil. Anak yang dilahirkan adalah sah dan tak berbeda sedikitpun dengan anak yang lahir dari pernikahan biasa. Demikian penjelasan Abdul Husain Syafruddin Al Muwasi, Ulama Syiah kenamaan.

Benar bahwa ulama Syiah membolehkan seorang perempuan mengawinkan dirinya sendiri sebagaimana ulama bermazhab Hanafi. Namun sebagaimana Mazhab Hanafi, mereka juga mengharuskan adanya saksi dan mas kawin.

Tentu kelompok Syiah mempunyai alasan-alasan antara lain Alquran surat An Nisa ayat 24. Kata Istamta’tun  yang seakar dengan kata Mut’ah dipahami sebagai wanita yang dinikahi secara mut’ah. Apalagi sahabat nabi Ibnu Abbas Ubay bin Kaab membaca ayat tersebut dengan tambahan Ilaa ajalaen musamma (Sampai waktu tertentu) setelah kata fa maa istamta’tum. Menurut Ibnu Jarir At Tahbary (Ulama Sunni) ayat tersebut diartikan bahwa mereka (istri) yang kamu nikmati maka berilah mas kawinnya.

Imam Al Qurthuby, ulama Sunni, menulis dalam tafsirnya bahwa ayat diatas dipahami sebagai ijin nikah mut’ah pada masa awal Islam. Tapi izin tersebut telah dibatalkan. Memang ada sekian banyak hadist shahih yang membuktikan bahwa nikah mut’ah pernah dilakukan sahabat Nabi SAW. Beliau tidak melarangnya tapi kemudian dibatalkan. Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang membatalkannya ? ada yang berpendapat bahwa yang membatalkannya adalah Surat Al Mukminun (5-6) yang menguraikan tentang keberuntungan kaum Mukmin yang memelihara kemaluan kecuali terhadap istri dan budak wanita mereka. Disini tidak disebut nikah mut’ah dan dengan demikian ayat inin melarangnya at dengan kata lain tidak menjadikan nikah mut’ah sebagai salah satu cara yang dibenarkan untuk menyalurkan hawa nafsu.

Ada juga yang berpendapat bahwa yang membatalkan adalah Nabi SAW. Namun demikian disini sekali lagi ditemukan pendapat tentang kapan pembatalan itu dilakukan. Ulama besar mengemukakan sekian riwayat berbeda, namun kesimpulannya bagwa nikah mut’ah tidak dibenarkan lagi. Ada juga yang mengatakan Umar bi Khattab-lah yang melarang nikah mut’ah. Ini dijadikan dalih Ulama Syiah untuk tetap berpegang pada ayat Alquran yang membolehkan.

Meski ulama Sunni, melarang nikah mut’ah, mereka tetap membedakannya dengan perzinahan. Zina secara pasti haram. Yang melakukannya diancam hukuman dera. Sedang nikah mut’ah masih ada yang membolehkan.

Pada hakikatnya nikah mut’ah tidak sejalan dengan tujuan pernikahan yang diharapkan Alquran bahwa pernikahan itu hendaknya langgeng, sehidup, semati bahkan sampai kiamat. Konon, tidak sedikit ulama Syiah yang juga tidak menganjurkan nikah mut’ah karena merugikan kaum wanita. Wa AllahA’lam.

dalam Buku Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab : Mistik, Seks dan Ibadah. Penerbit Republika.





No comments: