Tuesday 27 August 2013

Asa di Daun Nipah


Ilustrasi, foto antara.com
Tubuhnya sudah termakan masa. Tak lagi muda, hanya tatapan yang masih membara. Rambutnya mulai tumbuh keperakan, tak terurus hanya gelang karet yang menghias mahkotanya.  Keriput tak bisa lagi ditutupi dengan bedak yang sanggup dia beli. Tangan mulai gemetar ketika harus memegang benda terlalu lama.

Pagi itu matahari bersinar dibalik pohon bambu. Pancarannya menerangi rumah reot yang terbuat dari sobetan. Atapnya nipah yang sudah tua. bocor disana-sini. Lantainya hanya beralas tanah. Tak pantas dikatakan rumah, lebih pantas pondok reot. Dinding sudah mulai termakan rayap. Disana sini terdapat bubuk kayu sisa hasil olahan rayap. Hanya gambar kaligrafi kecil yang menghias dindingnya. Serta foto Almarhum suami terpanjang.

Pukul lima pagi, tanganya sudah cekatan didapur. Memasak ala kadar untuk mengisi perut anak diawal hari. Biasanya hanya singkong yang direbus dan teh manis. Dapurnya bukan dihiasi kompor gas atau hock, hanya tungku tanah dan kayu bakar. Pemantiknya pun bukanlah minyak tanah, tetapi plastik bekas minuman mineral.

Anaknya berjumlah 6 orang. Sejak ditinggal oleh Almarhum suami dia harus bekerja seorang diri. Anak tersulung baru menginjak kelas 1 SMP sedangkan yang terkecil masih 8 bulan. Dunia terasa runtuh ketika harus menerima kenyataan ini. jika tak kuat iman bisa berakhir di rumah sakit jiwa. Tiga anaknya sudah bersekolah, sementara sisanya belum cukup umur. Tak ada protes setiap pagi, ada ataupun tidak sarapan sudah menjawab kemampuan Si emak.

Si Mak, memang sudah cukup tua mempunyai anak yang terbesar baru SMP. Maklum 15 tahun menikah baru dikaruniai anak. Ketika si sulung sudah dapat, ternyata dibelakangnya sudah mengantri adik-adiknya. Si sulung memang pembuka jalan.

Ketika anak-anak mulai berangkat sekolah. Si Mak mulai meraut asanya. Lidi daun nipah,dirautnya dengan tekun. Sebagai benang untuk menjahit. Terlebih dahulu dimandikannya ketiga anaknya. Dipakaian baju, barulah dia berangkat bersama ke pondok diujung kampung. Tak lupa bekal air minum dan apa saja yang ada didapur sebagai penganjal disiang hari.

Pondok itu diisi lima belasaan ibu dan bapak yang ada dikampung. Mereka duduk berbaris diantara sela-sela daun nipah. Tangan cekatan merangkai nipah di bilah bambu. Merajutnya menggunakan lidi nipah muda yang telah dibuat. Tangan terampil seolah sudah bekerja tanpa komando. Menjahit, menarik dan memasukkan daun nipah diatas sebilah bulu.

Ya... hanya ini penyambung hidup. Tubuh rentanya sudah tak sanggup bekerja yang lain. Bekerja diladang atau dikebun hanya untuk yang bertubuh kuat. Raganya sudah tak sanggup dibawah sang surya. Bila lama, biasanya kepala terasa berat dan mau jatuh. Beberapa kali itu terjadi, sehingga tumpuan hidup ke 7 insan manusia ini hanya di daun nipah.

Ikatan besar daun nipah digeser dan direbahkan. Diambil posisi duduk yang nyaman. Puluhan bilah bambu disusun disamping. Satu bilah bambu diambil. Dua helai daun nipah ditumpuk bersusun. Diletakkannya diujung bilah bambu. Setelah dilipat menjadi dua, lidi nipah muda yang telah diraut ditusukkan. Persis seperti menjahit baju. Begitu seterusnya hingga semua bilah bambu tertutupi daun nipah. Ukuran panjang bilah bambu kurang lebih 210 cm. Lama menjahitnya tergantung kecepatan tangan melipat dan menganyam. Jika sudah biasa tak cukup lima belas menit sudah jadi satu atap nipah.

Upah satu lembar atap nipah dihargai Rp.100. sedangkan harga jualnya mencapai Rp. 750. Si mak sanggup membuat 20 lembar daun nipah jika duduk dari pagi sampai siang. Usia yang tak lagi muda kadang membuat pinggangnya tak sanggup duduk terlalu lama.

Uang yang diperolehnya dibagi untuk dapur dan sekolah si anak. Biasanya anak diberikan Rp.500 sebagai ongkos untuk naik angkot ke sekolah. Sedangkan sisanya untuk membeli beras dan lauk pauk dirumah. Seminggu sekali si mak, mengambil upahnya dari juragan atap. Tak jarang si juragan menggatinya dengan beras ataupun barang kebutuhan rumah tangga lainnya. Sabun cuci, telur, garam dan lainnya.

Dihari minggu Si Sulung biasanya membantu si mak menjahit atap. Walaupun tak banyak, biasanya hanya 5-7 lembar yang dia bisa rajut. Setidaknya bantuan itu memberikan semangat bagi Si Mak bahwa anaknya tahu kondisinya saat ini.

Tak ada memang jalan lain, hanya nipah yang saat ini memberikan berkah pada keluarga ini. Selagi masih dipakainya nipah sebagai atap, disitulah rejeki datang. Akhir-akhir ini kata juragan, penjualan sudah menurun, banyak orang beralih ke atap seng. Walaupun harganya mahal tetapi dipakai dalam jangka waktu yang panjang. Sedang jika beratap nipah, hanya tahan dua sampai tiga tahun.
Si emak hanya mengelus dada, berharap pintu rejekinya masih terbuka di atap nipah.  Tak tau lagi, harus bekerja apa. Anak masih kecil-kecil, sementara tubuhnya sudah tak mampu bekerja. Hanya doa yang mungkin ampuh mengobati semua derita. Hanya tangan Tuhan yang mampu agar mereka hidup dan bertahan.


Doa emak, semoga kelak anaknya dapat hidup layak dan berguna. Tak usah kaya, hanya hidup sebagaimana mestinya saja. Dia juga membayangkan bagaimana nasib anaknya jika ia menyusul sang suami. Entah, hanya Tuhan yang tahu... "Sebaik-baiknya menitip sesuatu hanya kepada Tuhan. Dia tak mungkin lalai dan mengecewakan”, gumannya dalam hati.

No comments: